Random Post

Blog Stats

Powered by Blogger.

Translate

Join Us Here

Test Footer

Friday, 20 February 2015

TASAWUF DAN MOTIVASI BEREKONOMI
TASAWUF DAN MOTIVASI BEREKONOMI

Masalah ekonomi senantiasa menarik perhatian berbagai macam lapisan masyarakt dan individu. Islam menganggap kehidupan ekonomi yang baik sebagai suatu rangsangan bagi jiwa dan sarana berhubungan dengan Allah. Dari sini terliaht bahwa Islam memperhatikan masalah harta. Menurut Islam, harta adalah sarana untuk memperoleh kebaikan, sedangkan segala sarana untuk memperoleh kebaikan adalah baik. harta bukan selamanya bencara bagi pemiliknya dan bukan pula pemberian dari roh-roh jahat sebagaiaman dugaan sebagian tokoh agama. Harta dalam konteks Al-Qur'an adalah suatu kebaikan (Khoirun).

Namun jika kita melihat pengertian tasawuf pada umumnya yang bermakna menempuh kehidupan zuhud, menghindari gemerlap kehidupan duniawi, rela hidup dalam keprihatinan, melakukan berbagai jenis amalan ibadah, melaparkan diri, mengerjakan shalat malam, dan melantunkan berbagai jenis wirid sampai fisik atau dimensi jasmani seseorang menjadi lemah dan dimensi jiwa atau ruhani menjadi kuat, tentu perekonomian dalam kehidupan muslim harus ditinggalkan. Apakah orang yang masuk pada dunia tasawuf harus miskin, menghindari gemerlap kedidupan duniawi dan tidak mempunyai motivasi berekonomi?

Sebelum kita membasas tasawuf dan motivasi berekonomi, maka akan dijelaskan terlebih dahulu apa arti sesungguhnya dari tasawuf itu sendiri, arti ekonomi dan bagaimana motivasi berkenomi dalam dunia sufi.

Pengertian Tasawuf secara etimologis berasal dari bahasa Arab, Tashawwafa, Yathawwasafu, Tashawwufan. Ulama berbeda pendapat dari mana asal usulnya, ada yang mengatakan ari kata shuf (bulu kambing), shafa (bersih dan suci), Sophia (hikmah atau filsafat), shuffah (ruangan dekat masjid Madinah tempat Nabi Muhammad SAW memberikan pengajaran kepada para sahabatnya).

Sedangkan secara terminologi banyak dijumpai definisi yang berbeda yang oleh Ibrahim Basyuni dklasifikasikan menjadi tiga , yaitu al-Bidayah, al-mujahadah, dan al-Mudzaqat.
Dari sekian definisi yang ada dapat dikatakan bahwa tasawuf merupakan moralitas Islam yang pembinaannya melalui proses tertentu (mujahadah dan riyadlah). Selain itu para ahli juga memberikan definisi tentang tasawuf diantaranya adalah al-Junaini, menurut beliau Tasawuf adalah Tuhan menjadikan kamu mati, untuk hidup kembali di dalamnya.

Jadi tasawuf adalah suatu usaha yang sungguh-sungguh dengan jalan mengasingkan diri sambil bertafakur (kontemplasi), melepaskan diri dari segala yang bersifat duniawi dan memusatkan diri hanya kepada Tuhan sehingga bersatu dengan-Nya. Sedangkan pengertian ekonomi adalah segala aspek yagn mempengaruhi hajat hidup orang banyak atau segala tuntutan kebutuhan hidup yang menuntut orang untuk berusaha, berkerja dan sebagainya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.

MOTIVASI BEREKONOMI DALAM SUFI
Jika kita merujuk terhadap konsep tasawauf sosial yang didalamnya ada dua pokok ajaran inti yaitu purifikasi (pemurnian) dan reinterprestasi  (pemaknaan ulang) terhadap ajaran tasawuf klasik, maka ketika kita berbicara pada masalah ekonomi, kita harus merujuk pada sumber utama yaitu al-Qur'an dan hadits. Di dalam Islam aspek-aspek ekonomi dan kerohanian dalam kehidupan amnusia harus berjalan dengan seimbang, apabila ada kekurangan pada salah satu aspek akan menimbulkan kepnicangan pada aspek lainnya. Sebagaimana dalam surat al-Kahfi ayat 28 yang artinya :
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yagn menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya dan jagalah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini (Al-Kahfi:28).

Ini adalah konsep kehidupan sejati al-Qur'an, dia memerintahkan umat Islam untuk memelihara keselarasan dan keseimbangan dalam kehidupan, tidak telalu membenci atau pun mencintai dunia. dia menjadikan kesejahteraan ekonomi pra syarat peningkatan moral dan semangat manusia, karena selama masyarakat belum dapat memenuhi kebutuhan pokok mereka secara memauskan, sulit untuk dapat menjadi warga negaa yang baik maupun peningkatan kualitas moralnya. dan pada kenyataannya orang miskin sulit memahami agama maupun nilai-nilai moral yang luhur. Karenaya Islam telah menyediakan pemenuhan kebutuhan dasar setiap orang dalam sistem ekonominya.

Manusia hidup di dunia ini mempunyai banyak kebutuhan, antara lain: sandang, pangan dan papan, dan juga memerlukan tiga rukun untuk hidup yaitu:
  • Kebutuhan Nafsiyah (Kebatinan), Ilmu pengetahuan dan budi pekerti adalah memberntuk batin. kebatinan mempengaruhi badan kasas, badan kasas memperbudak makanan dan minuman, minuman dan makanan memperbudak uang. Harta benda adalah tingkat langkah yang pertama dan kesempurnaan jiwa adalah tujuan akhir, maka harta benda, uang dan kekayaan dicari untuk kesempurnaan jiwa.
  • Kebutuhan Badaniyah (tubuh), Makanan adalah pokok hidup yang paling penting, diapun mempunya dua martabat, Pertama paling rendah, sekedar perlu untuk kenyang saja dan untuk tangkal jangan mati atau lemah, supaya badan kuat beribadah. Martabat yang kedua adalah Derajat pertengahan, seperti membagi-bagi perut jadi tiga bagian yaitu sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga dikosongkan untuk pikiran.
  • Keperluan dari lura (tempat tinggal, pakaiana dan lain-lain), Pakaian berfungsi untuk melindungi manusia dari panas dan agar indah serta bagus kepribadian manusia tersebut. Tempat tinggal, tempat tinggal berfungsi untuk memelihara diri dari panas dan hujan.
KRITIK TERHADAP PASIVISME
Kita sadari bahwa mayoritas umat Islam adalah rendah dalam bidang pendidikan dan ekonomi, jika kita pelajari ada beberapa faktor penyebab rendahnya tingkat ekonomi umat Islam. Dalam prakteknya, umat Islam taat beragama sehingga tidak menuntut kemajuan dalam bidang ekonomi, yaiitu ajaran yang intinya menjauh dari gemerlapnya dunia dan memfokuskan pada akhirat/ Padalah di dalam Islam sendiri menganjurkan manusia untuk bekerja dan berusaha.

Bekerja dan berusaha yang dilakukan oleh manusia diletakkan oleh Allah pada timbangan kebaikan, ini berarti terjadi kontradifktif. Kontradiktif antara ajaran Islam dan realita umatnya, kontradiktif istilah ajaran dengan pemaknaannya sekaligus prakteknya, kontradiktif antara sasaran inti dari ajaran dengan pemahaman yang menghambat kemajuan keduniaan.

pada dsarnya ajaran Islam dan ajaran tasawuf sosial menentang konsep pasivisme dan berusaha memberi semangat kepada umatnya agar selalu aktif dalam ibadah maupun muamalah. Konsep pasivisme dalam tasawuf berakar dari konsep tawakkal. Mulanya konsep ini bersifat etis, tetapi dmata kelompok sufi tertenut menjdi suatu doktrik ekstrim tentang pengingkaran dunia dan terbebasnya dendam dari sebab-sebab alamiah. Namun tentang maknya yang tepat terdapat perbedaan dikalangan sufi.

KESIMPULAN
Pada dasarnya Islam mengajarkan keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. Oleh karena itu manusia pada realitasnya merupakan makhluk dunia yang harus menghadapi segala seseuati di dunia dengna penuh tanggung jawab dan senantiasa mengabdi kepada Allah SWT. Banyak sekali nash al-Qur'an dan Hadits yang menyuruh manusia utnuk bekerja dan berusaha. Islam hanya mengecam kepada mereka yang sibuk mencari duni dan melupakan akhiratnya. Misalnya Zuhud, yang menekankan perhatian manusia apda penjauhan diri dari segal bentuk syahwat dan kemegahan dunia dengan memprioritaskan kehidupan akhriat. hal ini harus dimodifikasi agar tidak menjadi alasan untuk manusia bermalas-maslasan dan harus diseimbangkan antara dunia dan akhirat/
MAKALAH TEOLOGI ISLAM TERAPAN
ANTARA IMAN, GAIRAH KERJA DAN BERIBADAH SESEORANG


PENDAHULUAN
Iman tidak lepas dari keyakinan dan pembahasan tentang iman itu sendiri ialah bagaimana mengucapkan di lisan, meyakini dalam hati dan melaksanakan dalam perkataan, jika ketiga term tersebut telah sempurna maka bisa dikatakan bahwa orang yang beriman dalam konsep tersebut juga sempurna ke-Imanannya. Akan tetapi tidak semudah itu ketika rukun-rukun iman dijadikan sebagai landasan peradaban dan pada satu sisi terhimpun seperangkat kekuatan dan kemampuan dan di sisi lain terdapat seperangkat kekuatan yang merangsang seseorang untuk maju dan berkembang di dunia ini, serta menjadikan mereka mampu merebut sarana dan prasarana Allah SWT dengan beribadah dan beramal shaleh.

PEMBAHASAN
A. IMAN
Keimanan seseorang terhadap sesuatu bisa dalam hati orang tersebut telah tertanam kepercayaan dan keyakinan tentang sesuatu. Kata iman berasal dari bahasa Arab, yang terdiri dari tiga huruf yaitu, Hamzah, Mim dan Nun yang merupakan kata kerja dari masdar al_amin (Keimanan) lawan kata dari al-Khauf. Iman merupakan ketentraman dan kedamaian kalbu, yang dari itulah muncul al-Amanah (bisa dipercaya) lawan kata dari al-Khiyanah (khianat, keinggaran). (ref. Abul A’la Maududi, dasar-dasar Iman, Pustaka, Bandung, 1986. hal. 182.).

Beberapa buah dan pengaruh keimanan bagi kehidupan sehari-hari bagi manusia diantaranya:
  1. Menjadikan orang lebih percaya diri.
  2. Memberi ketenangan.
  3. Memberi rasa aman.
  4. Memberi kebahagiaan.
  5. Menjadikan orang beriman hidup optimis dan pasti.
Dari penjelasan diatas, dikatakan bahwa orang yang beriman harus didasari dengan:
Iman ialah engkau percaya kepada Allah, malaikatnya, para Rasulnya, hari kemudian dan engkau percaya kepada takdir baik dan buruknya).(ref.Al Nawawi, Syarah Matan Al-Qur'an, 1996, hal. 17)

B. IBADAH
Menurut bahasa kata "ibadah" berarti patuh (al-tha'ah), tunduk (al-khuduk) ubudiyah artinya tunduk (al-khduk) dan merendahkan diri (al-tazallu). Dalam pengertian khusus ibadah adalah perilaku manusia yang dilakukan atas perintah ALlah SWT seperti shalat, zakat, puasa dan lain sebagainya. (ref.Charles Schafer, Bagaimana Mempengaruhi Anak (Semarang Dhahara Prize, 1994), hal. 16).

Dasar pelaksanaan ibadah bagi seseorang dalam agama Islam merupakan cara untuk mensucikan diri bagi jiwa manusia atau pun kehidupan sehari-hari.
Tujuan ibadah dalam Islam bagi seseorang adalah:
  1. Untuk memperkuat keyakinan dan pengabdian kepada Allah SWT.
  2. Untuk memperkuat tali persaudaraan dan tali kasih sayang seorang muslim.
  3. Disamping untuk latihan spritiual ibadah juga dapat merupakan latihan moral.
Meskipun tujuan peribadatan seseorang adalah untuk mengingat dan memuliakan Allah SWT, namun perlu ditekankan bahwa kemualaan dan keagaungan ALlah SWT tidak tergantung sedikitpun pada pemuliaan dan pengakuannya. Karena seseorang tidak dapat bergantung pada ciptaan-Nya dan bebas dari segala kebutuhan.
Tetapi apabila seseorang membutuhkan bentuk-bentuk peribadatan yang berulang-ulang untuk menjaga kebutuhannya dengan Allah SWT. Syarat-syarat diterimanya ibadah seseorang ialah:
  1. Ikhlas, yakni semata-mata karena Allah.
  2. Sah, maksudnya amal itu dilakukan sesuai kehendak saja.
Ibadah merupakan cinta karena berlangsung atas dasar rasa cinta yang mudni yang maha pencipta Allah SWT serta diiringi dengan kerendahan hati yang sempurna.

KESIMPULAN
Bahwa seseorang masih dikatakan muslim ketika keinginan seseorang masih terpelihara dan masih memenuhi segala ke-Imanan. Iman adalah ketentraman dan kedamaian kalbu. Iman tertanam dalam hati seseorang tersebut telah tumbuh suatu kepercayaan dan keyakinan tentang sesuatu. Adapun ibadah mempunyai makna perilaku manusia yang dilakukan atas perintah Allah seperti shalat, zakat, puasa dan lain-lain.

PENUTUP.
Demikianlah makalah ini saya buat, saran, kritik serta pendapat senantiasa saya terima guna kesempurnaan makalah ini dan semoga makalah ini berguna dan bermanfaat menurut kegunaanya. Apabila ada kata-kata maupun penulisan yang kurang berkenan dihati pembaca maka saya mohon maaf.

DAFTAR PUSTAKA
  • Abul A'la Maududi, Dasar-dasar Iman, Pustaka, Bandung, 1986.
  • Al Nawawi, Syarah Matan Al-Qur'an, 1996.
  • Charles Schafer, Bagaimana Mempengaruhi Anak,  (Semarang, Dhahara Prize, 1994).
  • Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta, Bulan Bintang, 1995)

Tuesday, 3 February 2015

PERBEDAAN KHITBAH DAN PACARAN
perbedaan-pacaran-dan-khitbah


I. PENDAHULUAN
Pernikahan memang indah, tapi jalan untuk menuju kesana tak selamanya mudah. Di setiap titian yang mengarah, berpotensi untuk menimbulkan setiap masalah. Setiap pemuda yang ingin menikah mestinya melewati titian-titian proses terlebih dahulu. Karena pernikahan dibangun diatas cinta antara sepasang manusia, sudah seharusnya mereka mengenal kepribadian masing-masing lebih dahulu. Taaruf-lah media pengenalan ini. Taaruf disebut sebagai proses pertama.

Apabila saling tertarik dan saling jatuh hati terjadi, berlanjutlah ke proses yang kedua, yaitu meminang. Disinilah aral melintang datang menghalang. Kadang terjadi sang pujaan hati adalah putri rantau, jauh dari orang tua yang mencintai. Meminang ke orang tua menjadi sesuatu yang tertunda-tunda. Di sisi lain, pernikahan kadang berarti kompetisi. Jika khitbah tidak segera diajukan, saingan bisa mendahului.

II. PERMASALAHAN

Di dalam syariat Islam dikenal adanya pinangan yang dilakukan sebelum akad nikah baik yang memakai tenggang waktu ataupun tidak. Dalam masyarakat Indonesia pinangan tersebut bervariasi tergantung kepada kondisi sosial, adat istiadat atau tradisi masyarakat setempat.  Jika memang proses pengenalan sebelum perkawinan itu penting, apakah berarti hukum pacaran boleh dalam Islam. Dan apa perbedaan khitbah dan pacaran ?

III. PEMBAHASAN
A.    Khitbah
a.    Pengertian

Peminangan dalam ilmu fiqh disebut khitbah artinya permintaan. Menurut istilah artinya pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk mengawininya, baik dilakukan laki-laki itu secara langsung atau dengan perantaraan pihak-pihak yang dipercayainya sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama.
Sayyid Sabiq dalam bukunya, Fiqh Sunah, memberikan definisi meminang sebagai berikut:

طلبها للزواج بالوسيلة المعروفة بين الناس

“Meminang artinya seorang laki-laki meminta seorang perempuan untuk menjadi istrinya dengan cara-cara yang sudah berlaku di tengah masyarakat.” 

b.    Hukum-hukum Yang Bertalian Dengan Peminangan 

Laki-laki yang meminang boleh melihat perempuan pinangannya untuk melihat kecantikannya, agar lebih merangsang pernikahan, atau untuk mengetahui cacatnya yang akan memberi kesempatan kepadanya untuk mencari pilihan lain. Rasulullah SAW bersabda:

اذاحطب احدكم المرْأة فقدر ان يرى منها بعض ما يدعوه الى نكاحها فليفعل (رواه احمد وابوداود عن جابر)

“Apabila salah seorang diantara kamu meminang perempuan, maka kalau dapat melihat sesuatu yang dapat mendorongnya untuk nikah maka hendaknya dilakukan.” (riwayat Ahmad, Abu Dawud dari Jabir).

Para ulama berbeda pendapat mengenai bagian-bagian yang boleh dilihat. Kebanyakan ulama hanya memperbolehkan melihat muka dan telapak tangan saja. Ulama lainnya memperbolehkan untuk melihat seluruh anggota badannya. Tetapi tak berarti si perempuan harus bertelanjang bulat di hadapan peminangnya, melainkan dengan berpakaian sehari-hari menurut adat setempat. 

c. Pembatalan Pinangan dan Akibat Hukumnya

Pinangan merupakan langkah pendahuluan sebelum nikah dilangsungkan. Seringkali sesudah itu diikuti dengan memberikan pembayaran maskawin seluruh atau sebagian dan memberikan macam-macam hadiah serta pemberian lainnya guna memperkokoh pertalian dan hubungan yang masih baru itu. Sebenarnya pinangan itu semata-mata baru merupakan perjanjian hendak melakukan akad nikah, bukan berarti sudah terjadi akad nikah. Pembatalan terhadap ikatan perjanjian itu, Islam tidak menjatuhkan hukuman material tetapi memandang perbuatan itu sebagai perbuatan tercela. Karena termasuk kedalam sifat orang munafik.  Karena itu, yang harus dikaji disini adalah apakah peminang itu berhak dan halal untuk meminta kembali pemberiannya yang pernah ia berikan kepada perempuan yang dipinangnya atau tidak.

Pemberian yang berupa maskawin harus dikembalikan karena maskawin adalah rangkaian perkawinan. Sebelum perkawinan berlangsung pihak perempuan belum berhak meminta maskawin. Maskawin wajib dikembalikan karena masih menjadi milik si peminang. Adapun hadiah-hadiah yang pernah diberikan dianggap hibah. Karena itu tidak perlu diminta kembali, sebab sudah menjadi milik perempuan yang dipinang dan ia sudah boleh memanfaatkannya.
B.    Pacaran

a.    Pengertian

Pacaran adalah sebuah ikatan yang dibangun di atas komitmen, kepercayaan yang dipicu oleh rasa cinta dan sayang kepada pasangannya. Di tengah-tengah masyarakat kita telah terbentuk makna dan pemahaman tersendiri mengenai “pacaran”. Pacaran secara definitif menjadi sangat kompleks, akan tetapi diantaranya menandai suatu proses pengenalan antara laki-laki dan perempuan yang biasanya dilatarbelakangi oleh rasa saling menyukai.

Perasaan suka pada lawan jenis satu sama lain tersebut pada dasarnya adalah fitrah Tuhan. Fakta ini berkaitan dengan fitrah manusia, bahwa manusia adalah mahluk Allah yang diciptakan berpasang-pasangan. Adalah menjadi wajar jika pada kemudian hari manusia akan dengan sendirinya mencari pasangannya. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat Adz-Dzariyat: 49

ومن كل شيء خلقنا زوجين لعلكم تذكرون

“Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, agar kamu menyadari kebesaran Allah.”
Sebagai makhluk, manusia diciptakan tidak dalam kesempurnaan. Berpasangan adalah juga fitrah yang muncul dalam ekspresi saling melengkapi kekurangannya pada pasangan hidupnya. Pada sisi lain rasa cinta tersebut pada dasarnya adalah titisan sifat ketuhanan (lahuut) yang ada pada manusia. Sebab Tuhan telah membekali manusia dengan sifat ketuhanan dan sifat kemanusiaan (nasuut). Keduanya adalah potensi yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk bekal menjadi khalifah fi al-ardhi, wakil Tuhan di bumi. Bagaimana potensi itu menjadi kekuatan untuk kebaikan atau kebatilan, itu adalah wilayah aplikasi manusia, dan disitulah kemudian mengapa ada hari pembalasan.

Kembali pada persoalan pacaran, ketetapan hidup berpasangan ini dalam Islam disyari’atkan melalui lembaga perkawinan dimana dalam al-Qur’an disebutkan lembaga perkawinan akan menjadi tempat mengalihkan kerisauan laki-laki dan perempuan menjadi ketenteraman, sakina (QS. Al-Rum: 21). Selain itu lembaga perkawinan adalah jalan untuk melahirkan keturunan-keturunan sebagai generasi penerus.

Guna mencapai tujuan tersebut diperlukan berbagai kesiapan antara lain kesiapan fisik, ekonomi, mental dan juga sosial. Proses persiapan ini menjadi penting sebab perkawinan adalah lembaga sakral yang tidak sekedar asal suka dan boleh berganti-ganti sekehendak hati. Persoalan kemudian bagaimana proses persiapan tersebut tetap berada pada koridor nilai-nilai Islam. 

b.    Pacaran Dilihat Dari Segi Manfaat
Adakah manfaat dari pacaran ?, kata orang,  pacaran itu akan memberikan semangat dalam menjalankan aktifitas dan dapat mendorong dalam prestasi, ketenangan, motivasi, dan lain sebagainya. Akan tetapi benarkah pernyataan tentang pacaran  di atas?. Ada benarnya, tetapi tidak sedikit pula salahnya. Manfaat pacaran itu saja persis dengan  orang minum khamr, mungkin manfaatnya ada, seperti menghangatkan tubuh, tetapi madharatnya ratusan kali lipat lebih berbahaya. Seperti melemahkan akal, mental, tubuh dan seterusnya. Begitupun dengan pacaran. Pada bagian proses awal (jadian) bisa jadi semangat dan memperlihatkan motivasi yang berlipat ganda. Akan tetapi itu tidak akan berlangsung lama. Mentok, selama hubungan itu tidak bermasalah.

Jadi manfaat pacaran hanya dapat dirasakan pada fase awal (jadian) saja. Setelah itu orang berpacaran tidak harus masuk ke dalam realita hidup yang sesungguhnya yang akan menimbulkan benturan psikis, kepentingan dan fisik. Ditambah lagi dengan lebihnya kondisi rohaniah seseorang, maka ketika terjadi konflik, pelampiasan kekesalan dengan kekerasan fisik menjadi pilihan favorit dan banyak dilakukan. 

c.    Pacaran Dilihat Dari Segi Teologis
Berdosakah jika kita berpacaran ? semuanya tentunya merupakan hak prerogative mutlak Tuhan. Yang bisa kita lakukan adalah mengambil jarak terhadap dosa dengan berlandaskan teks-teks suci (firman) yang sampai kepada kita. Jika saja pacaran itu tidak mengalami perubahan nilai, sistem, paradigma, konstruksi, desain plus implikasi negatif yang sangat banyak, tentu saja resistensi dari para agamawan terhadap model adaptasi pra pernikahan yang seperti ini akan tidak sebesar saat ini.

Yang menjadi persoalan adalah ketika orientasi utama dari pacaran itu sendiri, yang awalnya sekedar untuk berkenalan, menjadi eksploitasi fisik yang berujung pada interaksi seks. Jika sudah lari ke sini jelas saja akan berbicara, mengapa?, karena di dalam agama ada moralitas seks yang menempatkan ritual seks sebagai sesuatu yang tinggi, luhur dan sakral yaitu seks yang dilakukan dibawah naungan lembaga pernikahan yang sakinah mawaddah dan wa rahmah.

d.    Sifat Pacaran

Ada dua macam sifat pacaran, yaitu sehat dan tidak sehat. Mungkin hal ini yang sekaligus akan menjadi kesimpulan untuk mengumpulkan seluruh aspek definisi dari pacaran itu sendiri. Sehat, apa sih maksudnya ? sekarang kita harus mengembalikan orientasi utama dari pacaran itu sendiri. Orientasi dasar dari pacaran adalah “untuk proses awal saling mengenali lawan jenis, untuk secara bersungguh-sungguh berproses kepada hubungan yang serius, yaitu pernikahan”.

Jadi inilah orientasi utama dari rumusan pacaran itu sendiri. Kita harus menggarisbawahi benar tujuan utama yakni untuk saling mengenal. Tentu saja yang akan dikenali tadi adalah pribadi (psikis) calon pasangannya, bukan lain-lainnya. Yang jadi masalah kemudian adalah ketika eksplorasi (pengenalan) tadi telah mengarah ke wilayah-wilayah ZEE (Zona Erotisme Eklusif), maka ini sudah tidak berada di wilayah pacaran lagi, akan tetapi “pacaran” Jika yang terjadi adalah “pacaran” tadi maka  substansi pacaran dari rasa telah tereduplikasi menjadi nafsu.

“Pacaran” dihiasi oleh nafsu (sangat dominan) sehingga pusat getar negatif dampaknya,  tentu saja syahwat, nafsu, kecenderungan terhadap erotisme dan lain-lain. Jika hal ini yang terjadi maka pacaran seperti ini disebut juga sebagai pacaran yang tidak sehat. 

e.    Apakah Islam Membolehkan Pacaran

Jika berangkatnya dari istilah pacaran, maka kita akan merasa kesulitan menemukannya dalam kamus Islam. Akan tetapi bahwa setiap peradaban membawa dan membentuk budayanya sendiri, terlepas dari sisi negatif ataupun positif yang terkandung dalam pacaran. Artinya tidak mesti tidak bisa mengabaikan perkembangan peradaban dunia, dimana manusia telah semakin mudah bersosialisasi. Perempuan yang sebelumnya hanya memiliki ruang publik sangat sedikit, ,saat ini telah mewarnai ruang publik yang seimbang dengan laki-laki. Dalam situasi demikian, proses interaksi laki-laki dan perempuan telah menjadi semakin terbuka (dalam artian lebih banyak ruangnya).

Hal demikian berpengaruh terhadap proses pernikahan. Jika pada masa pembentukan al-Qur’an proses menuju pernikahan lebih banyak dilakukan antar orang tua, sebaliknya saat ini proses pengenalan telah dapat dilakukan oleh masing-masing laki-laki dan perempuan itu sendiri. Yang ingin saya tekankan adalah bahwa meskipun istilah tersebut (pacaran) tidak didapatkan dalam kamus Islam, akan tetapi proses pengenalan antara laki-laki dan perempuan menuju pernikahan lebih bisa ditolelir dari dulu. Dalam Islam terdapat istilah khitbah, yang dijadikan jembatan untuk mengenal calon pendamping hidup. Sebagai suatu proses pengenalan menuju jenjang perkawinan maka pacaran yang demikian diperbolehkan. Abul A’la al-Maududi mengatakan bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga suci yang harus dijaga, karenanya proses pengenalan menuju ke arah tersebut menjadi suatu yang mubah/ boleh. Hal ini antara lain disyaratkan oleh al-Qur’an surat al-Hujarat ayat 13:

ياايها الناس اناخلقناكم من ذكر وانثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عندالله اتقكم ان الله عليم خبير (الحجرات:

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulai diantara kalian dari sisi Allah orang yang paling bertakwa diantara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha mengenal. (al-Hujarat: 13)
f.    Nilai-nilai Islam: Penjagaan Dari Bukan Belenggu
Akhir-akhir ini pacaran mengalami metamorfosis yang begitu hebat. Pacaran menjadi identik dengan hubungan seksual sebelum menikah. Disinilah nilai-nilai Islam tidak bisa diabaikan begitu saja sebagai benteng penjagaan diri. Sebab Islam hanya mengenal hubungan seksual yang diikat dalam tali pernikahan, selain itu adalah perzinahan. Dan Islam sedari awal telah menyadari potensi pacaran yang bisa mengarah pada perbuatan zina. Al-Qur’an mengingatkan:

ولاتقربوا الزنى انه كان فاخشة وساء سبيلا

“Janganlah kamu mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.

Sebenarnya Tuhan telah menciptakan sesuatu secara berimbang. Tuhan membekali manusia dengan nafsu syahwat yang antara lain mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan fisik, psikis juga kebutuhan seks. Akan tetapi Tuhan juga membekali manusia dengan akal (‘aql) dan hati (Qalbu). Dengan hati dan akal manusia diperintahkan untuk menimbang perbuatannya, mana yang baik dan mana yang bisa merusak diri. Dan dalam masyarakat juga terdapat norma sosial yang memberi batasan tentang pergaulan laki-laki dan perempuan. Tujuan Islam jelas, menjaga manusia dari perbuatan dzalim serta menjaga kehormatan manusia. Sebab pada kenyataannya banyak terjadi kekerasan dalam pacaran yang sulit dicari keadilannya, yang semua berasal dari pacaran yang bebas. 

C.    Perbedaan Khitbah dan Pacaran
Dahulu, bagi orang tua kita urusan pinang-meminang tampaknya lebih praktis. Kalau memang sudah cocok atau tertarik dengan seorang gadis, langsung saja mengajukan proposal lamaran kepada calon mertua. Si gadis pun tinggal ditanting (ditawari) mau atau tidak. Walau masih ada juga calon mertua yang masih bergaya ala zaman Siti Nurbaya, sehingga merasa tidak perlu lagi menanyakan hal tersebut pada anak gadisnya. Perkara khitbah pun selesai begitu cepatnya, tinggal menunggu datangnya hari berbahagia, bila lamaran diterima. Kalau tidak, maka pelamar tinggal mendatangi calon mertua lain. 

Sekarang, model seperti itu tampaknya sudah banyak berubah, meskipun masih ada sebagian yang bertahan dengan gaya “lama”. Entah karena kurang percaya diri, malu, supaya tingkat keberhasilan lebih tinggi, atau faktor lainnya. Banyak orang lebih senang (atau terpaksa) mencari jalan yang relatif agak panjang. Caranya, bicara dulu pada si gadis, setelah itu baru datang ke calon mertua. Tak dapat disangkal bahwa semuanya terjadi salah satunya dikarenakan banyaknya peluang dan frekuensi bertemunya muda-mudi di berbagai lapangan kehidupan. 

Cara mengkomunikasikan keinginan pada orang yang dituju pun akhirnya berkembang. Ada yang secara langsung. Untuk model ini paling tidak bisa dibagi menjadi dua kategori. Pertama yang bernuansa kemaksiatan dan yang kedua masih bisa ditolelir. Untuk yang pertama bentuknya adalah pacaran bernuansa kemaksiatan, karena tidak mengindahkan norma dan syari’at Islam, seperti khalwat (berduaan di tempat sepi) dan perbuatan-perbuatan lain yang mengantar pada perzinahan. Rasulullah SAW bersabda:

لا يخلون رجل بامرأة الا مع ذى محرم

“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan wanita kecuali dengan kerabat dekatnya.”
Ada yang menggunakan cara langsung tapi masih dalam koridor syari’at. Yaitu melakukan pembicaraan dan pendahuluan pinangan dengan wanita, namun tak sampai ber-khalwat karena disertai mahramnya atau teman. Saling menjaga pandangan dan memakai busana yang dianjurkan oleh syari’at, disamping memperhatikan adab-adab yang ada. Insyaallah hal-hal yang demikian sah-sah saja.

Cara lain adalah tidak langsung. Umumnya dengan difasilitasi orang dekat gadis yang akan dipinang, bisa teman, saudara wanita atau mengirimkan utusan. Model semacam ini sudah bisa ditemukan, bahkan sejak zaman Nabi (masih ingat kisah Rasulullah SAW dan Khadijah).
Antar khitbah dan pacaran jauh berbeda, khitbah bersifat formal (legal) dan positif. Islam menganjurkan khitbah sebagai jembatan untuk melangsungkan pernikahan, dan ada batas-batas tertentu yang dapat dilihat saat melakukan khitbah, yaitu muka dan telapak tangan. Sedangkan pacaran lebih bersifat non-formal (ilegal) dan cenderung bersifat negatif karena kebanyakan dari orang tua mereka tidak mengetahui hubungan mereka. Dan dalam pacaran tidak ada batas-batas dalam pergaulan, cenderung lebih vulgar. Apalagi pada zaman sekarang yang menempatkan kebebasan di atas segala-galanya.

IV.    KESIMPULAN 

Dari uraian di atas dapat saya simpulkan bahwa pacaran adalah sebuah ikatan yang dibangun diatas komitmen dan kepercayaan karena dipicu oleh rasa cinta dan sayang kepada pasangannya. Sedangkan khitbah adalah pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk mengawininya. Baik dilakukan oleh laki-laki itu sendiri secara langsung atau dengan perantaraan pihak yang dipercayainya sesuai dengan ketentuan agama. Antara khitbah dan pacaran jauh berbeda. Khitbah bersifat formal, legal, positif. Sedangkan pacaran cenderung bersifat non-formal, illegal dan negatif. Khitbah merupakan jembatan menuju pernikahan, sedangkan pacaran hanyalah sebagai pelampiasan hasrat sementara.

V.    PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat penulis buat, dan penulis sadar masih banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA


Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Rineka Cipta, cet. 1, 1992 
Nur, Jamaah, Fiqih Munakahat, Dina Utama, Semarang (Dimas) 
Hamdani, H. S. A. AL, Risalah Nikah, Pustaka Amani, Jakarta, t.th 
Wijayanto, Iip, Perkosaan Atas Nama Cinta, CV Dalam, Yogyakarta, 2002 
________, Jatuh Cinta dan Pacaran Islami, Tinta, Yogyakarta, 2003 
Makalah Disampaikan pada obrolan cinta dengan tema ”Pacaran Dalam Perspektif Islam antara idealitas  dan realitas”, yang diselenggarakan oleh Alumni MAPABA PMII 2002 dan KAMMI Komisariat  Walisongo, Senin 4 November 2002, Rigin Wok Ngaliyan Semarang.
Majalah Nikah Edisi 08 November 2002

Monday, 2 February 2015

MAKALAH HUBUNGAN ANTARA IMAN DENGAN CARA BERBUSANA SESEORANG
MAKALAH HUBUNGAN ANTARA IMAN DENGAN CARA BERBUSANA SESEORANG


I. PENDAHULUAN

teorlogi-teologi Islam adalah membahasa ajaran-ajaran dasar dalam agama Islam. Oleh kaena itu setiap orang Islam yang ingin mempelajari Islam secara mendalam, supaya dapat memantapkan kepercayaan agama yang dianutnya dengan menhilangkan kearagu-raguan yang melekalt dihatinya, atau sengaja dilekatkan oleh orang-orang yang tidak senang terhadap agama yang dipeluknya. Dengan adanya iman itu akan membentuk jiwa dan watak manusia menjadi kuat dan positif, yang akan mengejawantahkan dan diwujudkan dalam bentuk perbuatan dan tingkah laku akhlak manusia sehari-hari adalasa didasari, diwarnai oleh apa yang dipercayainya.
Apabila iman seseorang sudah tercapai, maka ia akan menjadi kekuatan yagn positif dan dinamis dalam kehidupan manusia. Kelemahan akan digantinya dengan kekuatan, kemunduran digantinya dengan kemenangan, keputusan akan digantinya dengan keteguah hati.

II. PEMBAHASAN

a. Berbusana Penutup Aurat dan Perhiasan
Tuhan telah mengadakan berbusana untuk manusia, gunanya untuk penutup aurat dan menjadi perhiasan. Dengan berbusana ini akan menjadi perbesaan antara manusia dengan hewan yang telanjang bulat. Disamping sebagai perhiasan yang lahir untuk menutup aurat untuk perhiasan adalagi untuk perhiasan j iwa yaitu bertakwa kepada Allah SWT. Aurat bagi laki-laki antara pusat dan lutut, sedangkan aurat wanita seluruh tubuhnya, termasuk kepala dan lehernya, kjecuali muka, kedua tangan sampai pergelangannya dan kedua kaki sampai mata kaki.

Dalam surat Al-Ahzab ayat 59 dijelaskan:
Hai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuan dan istri-istri mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu mereka lebih baik mudah untuk dikenal, karena mereka itu tidak diganggu dan allah swt adalah maha pengampun lagi maha penyayang.

Dengan ini nabi diperintahkan oleh Tuhan, suapya menyampaikan kepada istri-istrinya, anak-anaknya yang perempuan termasuk anak-anak perempuan kaum muslimin dan kepada istri-istri yang beriman, supaya m enutup tubuhnya dengan memakai pakaian dalam. Inilah pakaian sopan wanita Islam, apabila mereka berjalan keluar rumah memakai pakaian sopan mereka dikenal sebagai wanita Islam yang sopan dan berbudi.

Sebagian besar ulama berpendapat, bahwa yang boleh terbuka hanyalah mudan dan dua telapak tangan sampai pergelangan, berkenaan dengan wanita yang lebih tua, ada sedikit keringanan. Sesuai dengan QS. Annur ayat 60 yang berbunyi: Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti dari haid dan mengandung yang tiada ingin kawin lagi, tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakarnya. Mereka dengan tiada bermaksud menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka dan Allah maha mendengan lagi maha mengetahui.

Kelonggaran dari wanita yang sudah tua dibolehkan membuka sebagian pakarnya, disamping dengan perkataan-perkataan, bukan sengaja membuka tubuhnya dan lebih baik pakaian sopan. Berbusana sangat diperlukan oleh manusia sebagai penutup aurat dan pelindung dari pengaruh iklim yang membahayakan dengan berbusana yang pantas itu berarti ada keimanan di dalam jiwa seseorang, karena berbusana juga melambangkan kebudayaan, keluwesan dan kebersihan.
Kita harus selalu ingat bahwa berbusana merupakan berkah yang telah diberikan oleh Allah SWT hanya kepada manusia, jika mampu sejauh mungkin kita harus mengenakan busana yang pantas. Kita tidak boleh mengenakan pakaian yang lusuh, compang-camping dan tambal-tabalan untuk memberi kesan miskin (sebenarnya tidak miskin), karena yang demikian itu merupakan perbuatan yang tidak berterima kasih.

kebanyakan orang muslim yang hidup di zaman modern ini sudah menerima model-model pakaian Barat. Mereka memperdebatkan bahwa Islam tidak menentukan jenis pakaian yang khusus. Oleh karena itu kita bebas mengenakan pakaian apa saja untuk menyesuaikan diri dengan masyaratkat dimana kita hidup. Yang demikian itu merupakan anggapan yagn salah, karena Al-Quran dan sunah nabi SAW berisi banyak perintah yang jelas berkenaan dnegan orang yang beriman. Pakaian Islam adalah yang bersih, rapi dan sederhana, sedangkan model pakaian Barat sepenuhnya diarahkan oleh alasan-alasan pemborosan dan kesombongan. Wanita yang biasa mengenakan yang tipis dan ketat sehingga menampakkan keindahan tubuh mereka dan membangkitkan birahi yang melihatnya akan dimasukkan ke dalam neraka. Islam memberikan pembatasan0pembatasan dalam mengenakan pakaian seperti itu/


III. KESIMPULAN

Berbuasana yang indah, sopan dan rapi juga menutup aurat bagi setiap manusia adalah merupakan kewajiban setiap muslim dengan cara sperti ini sudah mencerminkan keindahan seseorang yang sudah kuat dan cara berbusana antara laki-laki dan perempuan tidak saling meniru karena hal seprti itu Allah SWT akan mengutuknya. Aurat bagi laki-laki antara pusar dan mata kaki, sedangkan wanita yaitu antara muka dan telapak tangan.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Bakir Yusus Barmasi, Konsep Iman dan Kufur dalam Teologi Islam, PT. Bina Ilmu Surabaya, 1988.
H.A.Malik AHmad, Akidah, Al-Hidayah, Jakarta, 1980.
Kasrudin HS, Membentuk Moral Bimbingan Al-Quran, Bina AKsara, Jakarta 1985.
Abdur Rehman Shad, Adap Kehidupan Muslim Gema Insani Press, Bandung 1989.



MAKALAH MASAIL FIQHIYAH LANJUTAN


III.ANALISA MASAIL FIQHIYAH

Hasil dari qaidah pertama tersebut bermunculan masalah-masalah fiqhiyah yang hampir tidak dapat dihitung jumlahnya. Beberapa kaidah yang dapat ditarik daripadanya ialah:

a. Laa tsawaba illa binniyat (Tidak adal pahala selain dengan niat)

Selama perbuatan-perbuatan itu tidak dianggap baik atau buruk jika tanpa niat dari pelakunya, maka amal itu tidak akan memperoleh pahala selama tidak diniatkan yang baik. Ketetapan semacam ini telah disepakati oleh seluruh ulama. Adapun mengenai sahnya amal, ada yang telah disepakati oleh ulama bahwa nita itu sebagai syaratnya, seperti shalat dan tayamum. Dan ada juga yang masih diperselisihkan, seperti niat di dalam wudhu. Ulama Syafi'iyah dan Malikiyah menganggap niat itu sebagai fadhu (wajib), ulama Hanabilah menganggap niat itu sebagai syart sahnya dan ulama Hanafiyah menetapkan sebagai sunat muakadah. artinya jika dengan iat, wudhunya merupakan ibadah yang dipahalai, jika tidak maka tidak dipahalai sekalipun shalatnya sah juga. kesukaran yang berlebihan yang dimaksudkan untuk menambah pahala, justru tidak akan dipahalai, tetapi yang dipahalai ialah kesukan yang lazim dalam melakukan amal itu.

b. Maa yashtarathu fiihi alta'yyiyni falkhotha'a fiyhi mubthal (Dalam amal yang disyaratkan menyatakan niat, maka kekeliruan pernyataanya membatalkan amalnya.)
Misalnya kekeliuran menyatakan niat:
  1. Dalam shalat dzuhur dengan shalat ashar.
  2. Dalam shalat idul fitri dengan idul adha.
  3. Dalam shalat rawatib dzuhur dengan rawatib ashar.
  4. dalam shalat dua rakaat ihram dengan dua rakaat thawaf dan sebaliknya.
  5. Dalam berpuasa arafah dengan puasa asyura dan sebagainya.
menjadikan tidak sahnya amal perbuatan yang dilakukan. disebabkan masing-masing dari perbuatan itu dituntut adanya pernyataan niat  untuk membedakan ibadah yang satu dengan lainya.

c. Maa yashtarathuta'didhalahu jumlatan wa laa yashtarithu ta'yiyynahu tafshiylaan idza ayynahu wa akhtha'dzoru (Perbautan yang secara keseluruhan diharuskan niat tetapi secara terperinci tidak diharuskan menyatakan niatnya, maka bila dinyatakan niatnya dan ternyatak keliru, berbahaya),

 Misalnya, seorang shalat jama'ah dengan niat makmum kepada Muhammad, ternyata orang yang menjadi imamnya bukan Muhammad tetapi Amin, shalat jamaah orang tersebut tidak sah, sebab keimamanya telah digugurkan oleh Amin, sedang niat kemakmumannya dengan Amin tanpa diniatkan. Menyatakan siapa imamnya dalam sembahyang berjamaah tidak disyaratkan, tetapi yang disyaratkan niatnya berjama'ah.

d. wa akhtho'al madzora maa laa yastarothutta'ridho lahu jumlatan wala tafsyiyylaan idza aynahu. (Perbautan yagn secara keseluruhan, maupun secara terperinci tidak disyaratkan mengemukakan niat, bisa dinyatakan dan ternyata keliru, tidak berbahaya).

MIsalnya seseorang bersembahyang dengan menyatakan pada niatnya sembahyang pada  hari kamis, padalah hari yang ia sembahyang itu adalah hari jumat, maka sembahyang tidak batal sama sekali, sebab menyatakan hari tanggal ia sembahyang tidak disyariatkan.

e. maa qhoo shodan allafdzu alaa niyatil afadz. (maksud lafzh itu terbantung pada niat orang yang mengatakannya).

Midalnya, seorang suami memanggil istrinya yang bernama Thaliq (orang yang tertalaq) atau seorang tuan pemilik budak memanggik budak yang bernama Hurrah (orang yang bebas), maka j ika memanggilnya tersebut diniatkan untuk mentalak istrinya atau memerdekakan budaknya, maka tercapailah maksudnya. Tetapi jika hanya bermaksud untuk memangi belaka tidak membawa akibat yang demikian.

IV. KESIMPULAN

Dari pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa "segala urusan tergantung terhadap niatnya. Niat aygn terkandung dalam hati sanubari seseorang sewaktu melakukan amal perbuatan menjadi kriteria yang menentukan nilai dan status hukum amal yang dilakukanya. Apakah kebiasaan dan apakah status hukumnya, jika ia sebagai amal syariat, wajib atau sunat atau lain sebagainya ditentukan oleh niat pelakunya. itulah sebanya kaidah ini bisa diterapkan hampir pada seluruh masalah fiqhiyah.
MAKALAH MASAIL FIQHIYAH
(SEGALA URUSAN TERGANTUNG KEPADA TUJUANNYA)



I. PENDAHULUAN
Ushulusy'ayari'ah (dasar-dasar syari'at Islam) menurut imam ahmad bin idris al-qurafi terdiri atas dua bagian. Pertama ialah apa yangdisebut dengan Ushulul-Fiqh dan kedua qawaidul fqhiyah. Qaidah fiqhiyah ialah kaidah-kaidah umum yang meliputi seluruh cabang masalah-masalah fiqih yang menjadi pedoman utuk menetapkan hukum setiap peristiwa fiqhiyah baik yang telah ditunjuk oleh nash yang sharih maupun yang belum ada nashnya sama sekali.
qQaidah kulliyah fiqhiyah tidak lain adalah prinsip-prinsip umum yangmenampungkebanyakandari bagian-bagian yang terperinci. oleh karena itu qaidah kulliyah itu jumlahnya banyak sekali. ada sebagian ulama yang menetapkan lebih dari itu. Al-qadhi abu said mengatakan bahwa ulama syafi'iyah memulangkan seluruh ajaran Imam syafi'i kepada 4 kaidah yaitu:
  1. (alyaqinu laa yudzallu bissyaq) Keyakinan itu tidak dapat dikalahkan oleh keraguan.
  2. (almusqhotu tajlibuttasyira) kesukaran dapat menarik kepada kemudahan.
  3. (addhorurotu yudzalu) kemudharatan harus dilenyapkan.
  4. (al-aadzatu muhkamah) adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.
 Sebagian ahli ilmu golongn muta'akhirin menambahkan satu kaidah lagi dari empat kaidah diatas, yaitu:
(al-umuuru bimaqasidiha) segala urusan tergantung kepada tujuannya.

II. DESKRIPSI PERMASALAHAN

Dari lima kaidah diatas kami akan mencoba menerangkan mengenai: al-umuuru bimaqasidiha. Bahwa niat yang terkandung dalam hati sanubari seseorang sewaktu melakukan amal perbuatan menjadi kriteria yang menentukan nilai dan status hukum amal yang dilakukannya. apakah kebiasaan dan apakah status hukum amala yang dilakukannya. apakah kebiasaan dan apakah status hukumunya jika ia sebagai amal syariat wajib atau sunat atau lain sebagainya ditentukan oleh niat pelakunya. Itulah sebabnya kaidah ini bisa diterapkan hampir pada seluruh masalah fiqhiyah.
adapun yang menjadi sumber dari kaidah tersebut ialah:

a. Firman Allah surat Al-Imran : 145
(Barang siapa menghendaki pahala dunia, kami berikan pahala itu dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan pahalan itu. dankami akan memberikan balasan kepada orang yang bersyukur)

b. Sabda Rasulullah
Amal-amal itu hanyalah dengan niat. bagi setiap orang hanyalah memperoleh apa yang diniatkannya. karena itu barang siapa yagn hijrahnya kepada Allah dan Rasullnya maka hijrahnya kepada Allah dan Rsulnya dan seterusnya ( HR. Bukhori dan Muslim).

Hadits tentang niat ini bermartabat tinggi dalam syariat islam. kata Imam abu ubaidah: "Tak ada satu hadits ayng lebih kaya dan banyak faedahnya dariapda hadits niat.Imam Syafii Ahmad, Abu Daud ad-Daruguthni dan lainya sepakat menetapkan bahwa hadits niat itu menmpati sepertiga dari seluruh ilmu pengetahuan islam. pendapat semacam ini diulas oleh Imam Al-Baihaqi sebagai berikut: "Segala aktivitas manusia itu adakalanya berpangkal pada hati sanubari, pada lisan dan adakalanya berpangkap pada hati sanubari, pada lisan dan adakalanya pada anggota badan. Niat yang berpangkal di  hati sanubari adalah aktivitas kejiwaan. Aktivitas itu lebih penting dan kuat ketimbang aktivitas  yang berpangkal pada lisan dan anggota badan. hal itu disebabkan karena niat dapat berfungsi sebagai ibadat yang berdiri sendiri, sedangkan aktivitas yang lain tidak dapat berfungsi sebagai ibadat sekiranya tidak didukung oleh niat. Niat sekalipun tidak dibarengi dengan amal perbuatan masih dianggap lebih baik daripada perbuatan yang tidak dibarengi dengan niat. Demikianlah jiwa dari sabda Rasulullah SAW:
"NIat orang mukmin itu lebih baik daripada amal perbuatannya saja(yang kosong dari niat). HR. Ath-Thabrani).

Tujuan disyariatkannya niat adalah untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan ibadat dengan perbuatan adat danuntuk menentukan tingkatan ibadat satu sama lain. Dengan penyertaan niat, perbuatan-perbuatan berikut ini dapat dibedakan sebagai perbautan ibadat dan perbuatan yang berdasarkan adat kebiasaan, seperti.
  • Mandi dan wudhlu yang disertakan niat untuk beribadah dan berbeda dengan mandi dan mencuci muka yang menurut kebiasaan untuk membersihakan badan dan muka.
  • karena berniat untuk melakukan ibadah puasa, maka meninggalkan makan dan minum itu dapat menjadi amal ibadat, bukan  hanya sekedar menghindari suatu penyakit atau mengurangi pengeluaran belanja sebagaimana yang biasa terjadi menurut kebiasan. Oleh karena itu, dari beberapa contoh-contoh yang telah disebutkan diatas, niat sangat diperlukan guna membedakan tingkatan yang satu dengan yang lainya dari suatu amal ibadat. Hampir seluruh masalah fiqhiyah kembali kepada qaidah ini akan ketergantungannya kepada adanya niat, misalnya :
  • Dalam bidang ibadat pada bab thaharah, fasal wudhu, mandi wajib maupun sunat dan tayamum. Shalat dengan segala jenisnya, apakah wajib, sunat, awatib, qashar, jama' berjamaah atau munfaridan, dan lain sebagainya, zakan dan shadaqah tathawu'. Kemudian puasa, baik puasa wajib maupun sunah dan i'tikaf haji, umrah  thawaf baik fadhu, wajib maupun sunah, tahallul, tamatu', sa'i, wuquf dan sebagainya.
  • Kemudian dalam bidan g munakahat, muamalah, jinayat, peradilan. Segala macam amal taqorrub, yakni suatu amal yang akan mendapatkan pahal lantaran nitanya untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka niat memegang peranan yang sangat penting. lebih jauh dari itu amal perbuatan yang mubah asal ditujukan untuk membina ketaqwaan, seperti makan, tidur dan lain sebaginya disunatkan dengan niat.
 bersambung....