Random Post

Blog Stats

Powered by Blogger.

Translate

Join Us Here

Test Footer

Wednesday, 16 July 2014


segala sesuatu tergantung terhadap tujuannya

الآموربمقاصدها

SEGALA URUSAN TERGANTUNG PADA TUJUANNYA



Ushulusy-Ayari’ah (dasar-dasar Syari’at Islam) menurut Imam Ahmad bin Idris Al-Qurafi terdiri atas dua bagian. Pertama ialah apa yang disebut dengan Ushulul-Fiqh dan kedua Qawai’dul-Fiqhiyah. Qaidah Fiqhiyah ialah kaidah-kaidah umum yang meliputi seluruh cabang masalah-masalah fiqih yang menjadi pedoman untuk menetapkan hukum setiap peristiwa fiqhiyah baik yang telah ditunjuk oleh nash yang sharih maupun yang belum ada nashnya sama sekali. Qaidah Kulliyah fiqhiyah tidak lain adalah prinsip-prinsip umum yang menampung kebanyakan dari bagian-bagian yang terperinci. Oleh karena itu, Qaidah-Kulliyah itu jumlahnya banyak sekali. Ada sebagian ulama yang menetapkan sebanyak 40 buah dan ada sebagian yang lain menetapkan lebih dari itu.

Al-Qadhi Abu Sa’id mengatakan bahwa ulama Syafi’iyah memulangkan seluruh ajaran Imam Syafi’i kepada 4 kaidah, yaitu:
  • ا ليقين لايزال بالشك Keyakinan itu tidak dapt dikalahkan oleh keraguan.
  • المشقة تجلب التيسير Kesukaran dapt menarik kepada kemudahan.
  • الضرر يزال Kemudharatan harus dilenyapkan
  • العادة محكمة Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.
Sebagian ahli ilmu golongan muta’akhirin menambahkan satu kaidah lagi dari empat kaidah diatas, yaitu: الآموربمقاصدها Segala urusan tergantung kepada tujuannya. Kaidah-kaidah tersebut dikatakan sebagai kaidah induk karena berpuluh-puluh kaidah fiqhiyah bernaung dan dapat dikembalikan kepadanya.

Dari lima kaidah diatas kami akan mencoba menerangkan mengenai:

الآموربمقاصدها  “Segala urusan tergantung kepada tujuannya”
Bahwa Niat yang terkandung dalam hati sanubari seseorang sewaktu melakukan amal perbuatan menjadi kreiteria yang menentukan nilai dan status hukum amal yang dilakukannya. Apakah kebiasaan dan apakah status hukumnya - jika ia sebagai amal syari’at- wajib atau sunat atau lain sebagainya ditentukan oleh niat pelakunya. Itulah sebabnya kaidah ini bisa diterapkan hampir pada seluruh masalah fiqhiyah.
Adapun yang menjadi sumber dari kaidah tersebut ialah:
a.    Firman Tuhan surat al-Imran: 145:
ومن يرد ثواب الد نيانؤته منها ومن يرد ثواب الاخرة  نؤته منها وٍٍٍٍسنجزي الشكرين
Barang siapa menghendaki pahala dunia kami berikan pahala itu dan barang siapa menghendaki pahala akhirat kami berikan pahala itu. Dan kami akan memberikan balasan kepada orang yang bersyukur. (Q.S: Ali Imran: 145)

b.    Sabda Rasulullah saw:
انماالاعمالل بالنيات وأنمالكل امرئ مانوى فمن كانت هجرته الى الله ورسوله فهحرته ألى الله ورسوله (الحديس)

Amal-amal itu hanyalah dengan niat. Bagi setiap orang hanyalah memperoleh apa yang diniatkannya. Kaena itu barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya  maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-nya…dan seterusnya. (Rw. Bukhori dan Muslim).

c.    Sabda Rasulullah saw yang diwartakan oleh Shuhaib ra:
انمارجل تزوج امرأة فنوى ألايعطيهامن صداقهاشيأمات يوم يموت وهوزانِِ وأنمارجل اشترى من رجل بيعا فنوى ألايعطيهامن ثمنه شيأمات يوما يموت وهو خائن

Kapan saja seorang laki-laki mengawini seorang wanita, lalu bermaksud tidak akan memberikan mas kawin sedikit pun kepadanya, matilah ia pada saat kematiannya sebagai perzina dan kapan saja seorang membeli sesuatu barang dari seseorang dengan niat tidak akan membayar harganya sedikitpun, matilah ia pada saat kematiaanya dalam keadaan sebagai pengkhianat.

Hadis tentang niat ini bermartabat tinggi dalam syari’at Islam. Kata Imam Abu Ubaidah: “Tak ada satu hadits yang lebih kaya dan banyak faedahnya daripada Hadits niat. Imam Asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Daud, Ad-Daruquthni dan lainnya sepakat menetapkan bahwa Hadis niat itu menempati sepertiga dari seluruh ilmu pengetahuan Islam. Pendapat semacam ini diulas oleh Imam Al-Baihaqi sebagai berikut, “Segala aktivitas manusia itu adakalanya berpangkal pada hati sanubari, pada lisan dan adakalanya pada anggota badan. Niat yang berpangkal di hati sanubari adalah aktivitas kejiwaan. Aktivitas itu lebih penting dan kuat ketimbang aktivitas  yang berpangkal pada lisan dan anggota badan. Hal itu disebabkan karena niat dapat berfungsi sebagai ibadat yang berdiri sendiri sedang aktivitas yang lain tidak dapat berfungsi sebagai ibadat sekiranya tidak didukung oleh niat. Niat sekalipun tidak dibarengi dengan amal perbuatan masih dianggap lebih baik daripada perbuatan yang tidak dibarengi dengan niat. 

Demikianlah jiwa dari sabada Rasulullah saw:
نياة المؤمن خيرمن عمله 
Niat orang mukmin itu lebih baik daripada amal perbuatannya saja (yang kosong dari niat). (Rw. Ath-Thabrani).

Tujuan disyari’atkan niat adalah untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan ibadat dengan perbuatan adat dan untuk menentukan tingkatan ibadat satu sama lain. Dengan penyertaan niat, perbuatan-perbuatan berikut ini dapat dibedakan sebagai: perbuatan ibadat dan perbuatan yang berdasarkan adat kebiasaan, seperti:
Mandi dan wudlhu yang disertakan niat untuk beribadah akan berbeda dengan mandi dan mencuci muka yang menurut kebiasaan untuk membersihkan badan dan muka. Karena berniat untuk melakukan ibadah puasa, maka meninggalkan makan dan minum itu dapat menjadi amal ibadat, bukan hanya sekedar menghindari suatu penyakit atau mengurangi pengeluaran belanja sebagaimana yang biasa terjadi menurut kebiasaan.
Oleh karena itu, dari beberapa contoh-contoh yang telah disebut diatas, niat sangat diperlukan guna membedakan tingkatan yang satu dengan yang lainnya dari suatu amal ibadat. Hampir seluruh masalah fiqhiyah kembali kepada qaidah ini akan ketergantungannya kepada adanya niat, misalnya:
Dalam bidang ibadat pada bab-bab  thaharah, fasal wudhu, mandi wajib maupun sunat dan tayamum. Shalat dengan segala jenisnya, apakah wajib, sunat, rawatib, qashar, jama’ berjama’ah atau munfaridan dan lain sebagainya; zakat dan shadaqah tathawu’. Kemudian puasa, baik puasa wajib maupun sunat dan i’tikaf; haji, umrah thawaf baik fardhu, wajib maupun sunat, tahallul, tamatu’ sa’i, wuquf dan lain sebagainya.

Kemudian dalam bidang munakahat, mu’amalat, jinayat, qadha’ (peradilan). Segala macam amal taqorrub, yakni suatu amal yang akan mendapatkan pahala lantaran niatnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka niat memegang peranan yang sangat penting. Lebih jauh dari itu amal perbuatan yang mubah asal di tujukan untuk membina ketaqwaan, seperti makan, tidur dan lain sebagainya disunnatkan dengan niat.

Walhasil dari qaidah pertama tersebut bermunculan masalah-masalah fiqhiyah yang hampir tidak dapat dihitung jumlahnya. Beberapa kaidah yang dapat ditarik daripadanya ialah:
  •  لاثواب الابالنية Tidak ada pahala selain dengan niat.
Selam perbuatan-perbuatan itu tidak dianggap baik atau buruk jika tanpa niat dari pelakunya, maka amal itu tidak akan memperoleh pahala selama tidak diniatkan yang baik. Ketetapan semacam ini telah disepakati oleh seluruh ulama. Adapun mengenai sahnya amal, ada yang telah disepakati oleh para ulama bahwa niat itu sebagai syaratnya, seperti shalat dan tayamum. Dan ada juga yang masih diperselisihkan, seperti niat di dalam wudhu, ulama Syafi’iyah dan Malikiyah menganggap niatu situ sebagai fardhu (wajib), ulama Hanabilah menganggapnya sebagai syarat sahnya dan ulama Hanafiyah menetapkan sebagai sunat muakkadah. Artinya jika dengan niat, wudhunya merupakan “ibadah yang dipahalai, jika tidak , tidak dipahalai,sekalipun shalatnya sah juga. Kesukaran yang berlebih-lebihan yang dimaksudkan untuk menambah pahala, justru tidak akan dipahalai. Tetapi yang dipahalai ialah kesukaran yang lazim dalam melakukan amal itu.
  • مايشترط فيه ألتعيين فالخطأفيه مبطل Dalam amal yang disyaratkan menyatakan niat, maka kekeliruan pernyataannya membatalkan amalnya.
Misalnya kekeliruan menyatakan niat:
  1. Dalam sembahyang zhuhur dengan sembahyang ashar
  2. Dalam sembahyang idul fitri dengan idul adha
  3. Dalam sembahyang rawatib zhuhur dengan rawatib ashar
  4. Dalam sembahyang dua raka’at ihram dengan dua rakaat thawaf dan sebaliknya
  5. Dalam berpuasa arafah dengan puasa asyura dan sebagainya
Menjadikan tidak sahnya amal perbuatan yang dilakukan. Disebabkan masing-masing dari perbuatan itu dituntut adanya pernyataan niat untuk membedakan ibadah yang satu dengan lainnya.
  • مايشترط التعرض له جملة ولأيشترط تعيينه تفصيلا ادا عينه وأخطأضر Perbuatan yang secara keseluruhan diharuskan niat tetapi secara terperinci tidak diharuskan menyatakan niatnya, maka bila dinyatakan niatnya dan ternyata keliru, berbahaya.
Misalnya, seorang bersembahyang jama’ah dengan niat makmum kepada muhammad, ternyata orang yang menjadi imamnya bukan Muhammad tetapi Amin. Shalat jama’ah orang tersebut tidak sah. Sebab keimamanya telah digugurkan oleh Amin sedang niat kemakmumanya dengan Amin tanpa diniatkan. Menyatakan siapa imamnya dalam sembahyang berjama’ah tidak disyaratkan. Tetapi yang disyaratkan ialah niatnya berjama’ah.
  •  مالايسترط التعرض له جملة ولا تفصيلااداعينه وأخطألميضر Perbuatan yang secara keseluruhan, maupun secara terperinci tidak disyaratkan mengemukakan niat, bila dinyatakan dan ternyata keliru, tidak berbahaya.
Misalnya seseorang bersembahyang dengan menyatakan pada niatnya sembahyang pada hari kamis, padahal hari yang ia sembahyang itu adalah hari jum’at, maka sembahyang tidak batal sama sekali, sebab menyatakan hari tanggal ia sembahyang tidak disyariatkan.
  • مقاصداللفظ على نيةاللافظ Maksud lafzh itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya.
Misalnya, seorang suami memanggil istrinya yang bernama Thaliq (orang yang tertalak) atau seorang tuan pemilik budak memanggil budak yang bernama Hurrah (orang yang bebas), maka jika memanggilnya tersebut diniatkan untuk mentalak istrinya atau memerdekakan budaknya, tercapailah maksudnya. Tetapi jika hanya bermaksud untuk memanggil belaka tidak membawa akibat yang demikian.

Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa “segala urusan tergantung terhadap niatnya” Niat yang terkandung dalam hati sanubari seseorang sewaktu melakukan amal perbuatan menjadi kriteria yang menentukan nilai dan status hukum amal yang dilakukannya. Apakah kebiasaan dan apakah status hukumnya - jika ia sebagai amal syari’at- wajib atau sunat atau lain sebagainya ditentukan oleh niat pelakunya. Itulah sebabnya kaidah ini bisa diterapkan hampir pada seluruh masalah fiqhiyah.

DAFTAR PUSTAKA
  • Prof. DR. Mukhtar Yahya, Prof. Drs. Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,PT. Al-Ma’arif Bandung, 1983.
  • Syahror, Muhammad, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Yogyakarta: Elsaq Press, 2004

Categories: ,

0 comments:

Post a Comment