Random Post

Blog Stats

Powered by Blogger.

Translate

Join Us Here

Test Footer

Tuesday, 3 February 2015

PERBEDAAN KHITBAH DAN PACARAN
perbedaan-pacaran-dan-khitbah


I. PENDAHULUAN
Pernikahan memang indah, tapi jalan untuk menuju kesana tak selamanya mudah. Di setiap titian yang mengarah, berpotensi untuk menimbulkan setiap masalah. Setiap pemuda yang ingin menikah mestinya melewati titian-titian proses terlebih dahulu. Karena pernikahan dibangun diatas cinta antara sepasang manusia, sudah seharusnya mereka mengenal kepribadian masing-masing lebih dahulu. Taaruf-lah media pengenalan ini. Taaruf disebut sebagai proses pertama.

Apabila saling tertarik dan saling jatuh hati terjadi, berlanjutlah ke proses yang kedua, yaitu meminang. Disinilah aral melintang datang menghalang. Kadang terjadi sang pujaan hati adalah putri rantau, jauh dari orang tua yang mencintai. Meminang ke orang tua menjadi sesuatu yang tertunda-tunda. Di sisi lain, pernikahan kadang berarti kompetisi. Jika khitbah tidak segera diajukan, saingan bisa mendahului.

II. PERMASALAHAN

Di dalam syariat Islam dikenal adanya pinangan yang dilakukan sebelum akad nikah baik yang memakai tenggang waktu ataupun tidak. Dalam masyarakat Indonesia pinangan tersebut bervariasi tergantung kepada kondisi sosial, adat istiadat atau tradisi masyarakat setempat.  Jika memang proses pengenalan sebelum perkawinan itu penting, apakah berarti hukum pacaran boleh dalam Islam. Dan apa perbedaan khitbah dan pacaran ?

III. PEMBAHASAN
A.    Khitbah
a.    Pengertian

Peminangan dalam ilmu fiqh disebut khitbah artinya permintaan. Menurut istilah artinya pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk mengawininya, baik dilakukan laki-laki itu secara langsung atau dengan perantaraan pihak-pihak yang dipercayainya sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama.
Sayyid Sabiq dalam bukunya, Fiqh Sunah, memberikan definisi meminang sebagai berikut:

طلبها للزواج بالوسيلة المعروفة بين الناس

“Meminang artinya seorang laki-laki meminta seorang perempuan untuk menjadi istrinya dengan cara-cara yang sudah berlaku di tengah masyarakat.” 

b.    Hukum-hukum Yang Bertalian Dengan Peminangan 

Laki-laki yang meminang boleh melihat perempuan pinangannya untuk melihat kecantikannya, agar lebih merangsang pernikahan, atau untuk mengetahui cacatnya yang akan memberi kesempatan kepadanya untuk mencari pilihan lain. Rasulullah SAW bersabda:

اذاحطب احدكم المرْأة فقدر ان يرى منها بعض ما يدعوه الى نكاحها فليفعل (رواه احمد وابوداود عن جابر)

“Apabila salah seorang diantara kamu meminang perempuan, maka kalau dapat melihat sesuatu yang dapat mendorongnya untuk nikah maka hendaknya dilakukan.” (riwayat Ahmad, Abu Dawud dari Jabir).

Para ulama berbeda pendapat mengenai bagian-bagian yang boleh dilihat. Kebanyakan ulama hanya memperbolehkan melihat muka dan telapak tangan saja. Ulama lainnya memperbolehkan untuk melihat seluruh anggota badannya. Tetapi tak berarti si perempuan harus bertelanjang bulat di hadapan peminangnya, melainkan dengan berpakaian sehari-hari menurut adat setempat. 

c. Pembatalan Pinangan dan Akibat Hukumnya

Pinangan merupakan langkah pendahuluan sebelum nikah dilangsungkan. Seringkali sesudah itu diikuti dengan memberikan pembayaran maskawin seluruh atau sebagian dan memberikan macam-macam hadiah serta pemberian lainnya guna memperkokoh pertalian dan hubungan yang masih baru itu. Sebenarnya pinangan itu semata-mata baru merupakan perjanjian hendak melakukan akad nikah, bukan berarti sudah terjadi akad nikah. Pembatalan terhadap ikatan perjanjian itu, Islam tidak menjatuhkan hukuman material tetapi memandang perbuatan itu sebagai perbuatan tercela. Karena termasuk kedalam sifat orang munafik.  Karena itu, yang harus dikaji disini adalah apakah peminang itu berhak dan halal untuk meminta kembali pemberiannya yang pernah ia berikan kepada perempuan yang dipinangnya atau tidak.

Pemberian yang berupa maskawin harus dikembalikan karena maskawin adalah rangkaian perkawinan. Sebelum perkawinan berlangsung pihak perempuan belum berhak meminta maskawin. Maskawin wajib dikembalikan karena masih menjadi milik si peminang. Adapun hadiah-hadiah yang pernah diberikan dianggap hibah. Karena itu tidak perlu diminta kembali, sebab sudah menjadi milik perempuan yang dipinang dan ia sudah boleh memanfaatkannya.
B.    Pacaran

a.    Pengertian

Pacaran adalah sebuah ikatan yang dibangun di atas komitmen, kepercayaan yang dipicu oleh rasa cinta dan sayang kepada pasangannya. Di tengah-tengah masyarakat kita telah terbentuk makna dan pemahaman tersendiri mengenai “pacaran”. Pacaran secara definitif menjadi sangat kompleks, akan tetapi diantaranya menandai suatu proses pengenalan antara laki-laki dan perempuan yang biasanya dilatarbelakangi oleh rasa saling menyukai.

Perasaan suka pada lawan jenis satu sama lain tersebut pada dasarnya adalah fitrah Tuhan. Fakta ini berkaitan dengan fitrah manusia, bahwa manusia adalah mahluk Allah yang diciptakan berpasang-pasangan. Adalah menjadi wajar jika pada kemudian hari manusia akan dengan sendirinya mencari pasangannya. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat Adz-Dzariyat: 49

ومن كل شيء خلقنا زوجين لعلكم تذكرون

“Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, agar kamu menyadari kebesaran Allah.”
Sebagai makhluk, manusia diciptakan tidak dalam kesempurnaan. Berpasangan adalah juga fitrah yang muncul dalam ekspresi saling melengkapi kekurangannya pada pasangan hidupnya. Pada sisi lain rasa cinta tersebut pada dasarnya adalah titisan sifat ketuhanan (lahuut) yang ada pada manusia. Sebab Tuhan telah membekali manusia dengan sifat ketuhanan dan sifat kemanusiaan (nasuut). Keduanya adalah potensi yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk bekal menjadi khalifah fi al-ardhi, wakil Tuhan di bumi. Bagaimana potensi itu menjadi kekuatan untuk kebaikan atau kebatilan, itu adalah wilayah aplikasi manusia, dan disitulah kemudian mengapa ada hari pembalasan.

Kembali pada persoalan pacaran, ketetapan hidup berpasangan ini dalam Islam disyari’atkan melalui lembaga perkawinan dimana dalam al-Qur’an disebutkan lembaga perkawinan akan menjadi tempat mengalihkan kerisauan laki-laki dan perempuan menjadi ketenteraman, sakina (QS. Al-Rum: 21). Selain itu lembaga perkawinan adalah jalan untuk melahirkan keturunan-keturunan sebagai generasi penerus.

Guna mencapai tujuan tersebut diperlukan berbagai kesiapan antara lain kesiapan fisik, ekonomi, mental dan juga sosial. Proses persiapan ini menjadi penting sebab perkawinan adalah lembaga sakral yang tidak sekedar asal suka dan boleh berganti-ganti sekehendak hati. Persoalan kemudian bagaimana proses persiapan tersebut tetap berada pada koridor nilai-nilai Islam. 

b.    Pacaran Dilihat Dari Segi Manfaat
Adakah manfaat dari pacaran ?, kata orang,  pacaran itu akan memberikan semangat dalam menjalankan aktifitas dan dapat mendorong dalam prestasi, ketenangan, motivasi, dan lain sebagainya. Akan tetapi benarkah pernyataan tentang pacaran  di atas?. Ada benarnya, tetapi tidak sedikit pula salahnya. Manfaat pacaran itu saja persis dengan  orang minum khamr, mungkin manfaatnya ada, seperti menghangatkan tubuh, tetapi madharatnya ratusan kali lipat lebih berbahaya. Seperti melemahkan akal, mental, tubuh dan seterusnya. Begitupun dengan pacaran. Pada bagian proses awal (jadian) bisa jadi semangat dan memperlihatkan motivasi yang berlipat ganda. Akan tetapi itu tidak akan berlangsung lama. Mentok, selama hubungan itu tidak bermasalah.

Jadi manfaat pacaran hanya dapat dirasakan pada fase awal (jadian) saja. Setelah itu orang berpacaran tidak harus masuk ke dalam realita hidup yang sesungguhnya yang akan menimbulkan benturan psikis, kepentingan dan fisik. Ditambah lagi dengan lebihnya kondisi rohaniah seseorang, maka ketika terjadi konflik, pelampiasan kekesalan dengan kekerasan fisik menjadi pilihan favorit dan banyak dilakukan. 

c.    Pacaran Dilihat Dari Segi Teologis
Berdosakah jika kita berpacaran ? semuanya tentunya merupakan hak prerogative mutlak Tuhan. Yang bisa kita lakukan adalah mengambil jarak terhadap dosa dengan berlandaskan teks-teks suci (firman) yang sampai kepada kita. Jika saja pacaran itu tidak mengalami perubahan nilai, sistem, paradigma, konstruksi, desain plus implikasi negatif yang sangat banyak, tentu saja resistensi dari para agamawan terhadap model adaptasi pra pernikahan yang seperti ini akan tidak sebesar saat ini.

Yang menjadi persoalan adalah ketika orientasi utama dari pacaran itu sendiri, yang awalnya sekedar untuk berkenalan, menjadi eksploitasi fisik yang berujung pada interaksi seks. Jika sudah lari ke sini jelas saja akan berbicara, mengapa?, karena di dalam agama ada moralitas seks yang menempatkan ritual seks sebagai sesuatu yang tinggi, luhur dan sakral yaitu seks yang dilakukan dibawah naungan lembaga pernikahan yang sakinah mawaddah dan wa rahmah.

d.    Sifat Pacaran

Ada dua macam sifat pacaran, yaitu sehat dan tidak sehat. Mungkin hal ini yang sekaligus akan menjadi kesimpulan untuk mengumpulkan seluruh aspek definisi dari pacaran itu sendiri. Sehat, apa sih maksudnya ? sekarang kita harus mengembalikan orientasi utama dari pacaran itu sendiri. Orientasi dasar dari pacaran adalah “untuk proses awal saling mengenali lawan jenis, untuk secara bersungguh-sungguh berproses kepada hubungan yang serius, yaitu pernikahan”.

Jadi inilah orientasi utama dari rumusan pacaran itu sendiri. Kita harus menggarisbawahi benar tujuan utama yakni untuk saling mengenal. Tentu saja yang akan dikenali tadi adalah pribadi (psikis) calon pasangannya, bukan lain-lainnya. Yang jadi masalah kemudian adalah ketika eksplorasi (pengenalan) tadi telah mengarah ke wilayah-wilayah ZEE (Zona Erotisme Eklusif), maka ini sudah tidak berada di wilayah pacaran lagi, akan tetapi “pacaran” Jika yang terjadi adalah “pacaran” tadi maka  substansi pacaran dari rasa telah tereduplikasi menjadi nafsu.

“Pacaran” dihiasi oleh nafsu (sangat dominan) sehingga pusat getar negatif dampaknya,  tentu saja syahwat, nafsu, kecenderungan terhadap erotisme dan lain-lain. Jika hal ini yang terjadi maka pacaran seperti ini disebut juga sebagai pacaran yang tidak sehat. 

e.    Apakah Islam Membolehkan Pacaran

Jika berangkatnya dari istilah pacaran, maka kita akan merasa kesulitan menemukannya dalam kamus Islam. Akan tetapi bahwa setiap peradaban membawa dan membentuk budayanya sendiri, terlepas dari sisi negatif ataupun positif yang terkandung dalam pacaran. Artinya tidak mesti tidak bisa mengabaikan perkembangan peradaban dunia, dimana manusia telah semakin mudah bersosialisasi. Perempuan yang sebelumnya hanya memiliki ruang publik sangat sedikit, ,saat ini telah mewarnai ruang publik yang seimbang dengan laki-laki. Dalam situasi demikian, proses interaksi laki-laki dan perempuan telah menjadi semakin terbuka (dalam artian lebih banyak ruangnya).

Hal demikian berpengaruh terhadap proses pernikahan. Jika pada masa pembentukan al-Qur’an proses menuju pernikahan lebih banyak dilakukan antar orang tua, sebaliknya saat ini proses pengenalan telah dapat dilakukan oleh masing-masing laki-laki dan perempuan itu sendiri. Yang ingin saya tekankan adalah bahwa meskipun istilah tersebut (pacaran) tidak didapatkan dalam kamus Islam, akan tetapi proses pengenalan antara laki-laki dan perempuan menuju pernikahan lebih bisa ditolelir dari dulu. Dalam Islam terdapat istilah khitbah, yang dijadikan jembatan untuk mengenal calon pendamping hidup. Sebagai suatu proses pengenalan menuju jenjang perkawinan maka pacaran yang demikian diperbolehkan. Abul A’la al-Maududi mengatakan bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga suci yang harus dijaga, karenanya proses pengenalan menuju ke arah tersebut menjadi suatu yang mubah/ boleh. Hal ini antara lain disyaratkan oleh al-Qur’an surat al-Hujarat ayat 13:

ياايها الناس اناخلقناكم من ذكر وانثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عندالله اتقكم ان الله عليم خبير (الحجرات:

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulai diantara kalian dari sisi Allah orang yang paling bertakwa diantara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha mengenal. (al-Hujarat: 13)
f.    Nilai-nilai Islam: Penjagaan Dari Bukan Belenggu
Akhir-akhir ini pacaran mengalami metamorfosis yang begitu hebat. Pacaran menjadi identik dengan hubungan seksual sebelum menikah. Disinilah nilai-nilai Islam tidak bisa diabaikan begitu saja sebagai benteng penjagaan diri. Sebab Islam hanya mengenal hubungan seksual yang diikat dalam tali pernikahan, selain itu adalah perzinahan. Dan Islam sedari awal telah menyadari potensi pacaran yang bisa mengarah pada perbuatan zina. Al-Qur’an mengingatkan:

ولاتقربوا الزنى انه كان فاخشة وساء سبيلا

“Janganlah kamu mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.

Sebenarnya Tuhan telah menciptakan sesuatu secara berimbang. Tuhan membekali manusia dengan nafsu syahwat yang antara lain mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan fisik, psikis juga kebutuhan seks. Akan tetapi Tuhan juga membekali manusia dengan akal (‘aql) dan hati (Qalbu). Dengan hati dan akal manusia diperintahkan untuk menimbang perbuatannya, mana yang baik dan mana yang bisa merusak diri. Dan dalam masyarakat juga terdapat norma sosial yang memberi batasan tentang pergaulan laki-laki dan perempuan. Tujuan Islam jelas, menjaga manusia dari perbuatan dzalim serta menjaga kehormatan manusia. Sebab pada kenyataannya banyak terjadi kekerasan dalam pacaran yang sulit dicari keadilannya, yang semua berasal dari pacaran yang bebas. 

C.    Perbedaan Khitbah dan Pacaran
Dahulu, bagi orang tua kita urusan pinang-meminang tampaknya lebih praktis. Kalau memang sudah cocok atau tertarik dengan seorang gadis, langsung saja mengajukan proposal lamaran kepada calon mertua. Si gadis pun tinggal ditanting (ditawari) mau atau tidak. Walau masih ada juga calon mertua yang masih bergaya ala zaman Siti Nurbaya, sehingga merasa tidak perlu lagi menanyakan hal tersebut pada anak gadisnya. Perkara khitbah pun selesai begitu cepatnya, tinggal menunggu datangnya hari berbahagia, bila lamaran diterima. Kalau tidak, maka pelamar tinggal mendatangi calon mertua lain. 

Sekarang, model seperti itu tampaknya sudah banyak berubah, meskipun masih ada sebagian yang bertahan dengan gaya “lama”. Entah karena kurang percaya diri, malu, supaya tingkat keberhasilan lebih tinggi, atau faktor lainnya. Banyak orang lebih senang (atau terpaksa) mencari jalan yang relatif agak panjang. Caranya, bicara dulu pada si gadis, setelah itu baru datang ke calon mertua. Tak dapat disangkal bahwa semuanya terjadi salah satunya dikarenakan banyaknya peluang dan frekuensi bertemunya muda-mudi di berbagai lapangan kehidupan. 

Cara mengkomunikasikan keinginan pada orang yang dituju pun akhirnya berkembang. Ada yang secara langsung. Untuk model ini paling tidak bisa dibagi menjadi dua kategori. Pertama yang bernuansa kemaksiatan dan yang kedua masih bisa ditolelir. Untuk yang pertama bentuknya adalah pacaran bernuansa kemaksiatan, karena tidak mengindahkan norma dan syari’at Islam, seperti khalwat (berduaan di tempat sepi) dan perbuatan-perbuatan lain yang mengantar pada perzinahan. Rasulullah SAW bersabda:

لا يخلون رجل بامرأة الا مع ذى محرم

“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan wanita kecuali dengan kerabat dekatnya.”
Ada yang menggunakan cara langsung tapi masih dalam koridor syari’at. Yaitu melakukan pembicaraan dan pendahuluan pinangan dengan wanita, namun tak sampai ber-khalwat karena disertai mahramnya atau teman. Saling menjaga pandangan dan memakai busana yang dianjurkan oleh syari’at, disamping memperhatikan adab-adab yang ada. Insyaallah hal-hal yang demikian sah-sah saja.

Cara lain adalah tidak langsung. Umumnya dengan difasilitasi orang dekat gadis yang akan dipinang, bisa teman, saudara wanita atau mengirimkan utusan. Model semacam ini sudah bisa ditemukan, bahkan sejak zaman Nabi (masih ingat kisah Rasulullah SAW dan Khadijah).
Antar khitbah dan pacaran jauh berbeda, khitbah bersifat formal (legal) dan positif. Islam menganjurkan khitbah sebagai jembatan untuk melangsungkan pernikahan, dan ada batas-batas tertentu yang dapat dilihat saat melakukan khitbah, yaitu muka dan telapak tangan. Sedangkan pacaran lebih bersifat non-formal (ilegal) dan cenderung bersifat negatif karena kebanyakan dari orang tua mereka tidak mengetahui hubungan mereka. Dan dalam pacaran tidak ada batas-batas dalam pergaulan, cenderung lebih vulgar. Apalagi pada zaman sekarang yang menempatkan kebebasan di atas segala-galanya.

IV.    KESIMPULAN 

Dari uraian di atas dapat saya simpulkan bahwa pacaran adalah sebuah ikatan yang dibangun diatas komitmen dan kepercayaan karena dipicu oleh rasa cinta dan sayang kepada pasangannya. Sedangkan khitbah adalah pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk mengawininya. Baik dilakukan oleh laki-laki itu sendiri secara langsung atau dengan perantaraan pihak yang dipercayainya sesuai dengan ketentuan agama. Antara khitbah dan pacaran jauh berbeda. Khitbah bersifat formal, legal, positif. Sedangkan pacaran cenderung bersifat non-formal, illegal dan negatif. Khitbah merupakan jembatan menuju pernikahan, sedangkan pacaran hanyalah sebagai pelampiasan hasrat sementara.

V.    PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat penulis buat, dan penulis sadar masih banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA


Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Rineka Cipta, cet. 1, 1992 
Nur, Jamaah, Fiqih Munakahat, Dina Utama, Semarang (Dimas) 
Hamdani, H. S. A. AL, Risalah Nikah, Pustaka Amani, Jakarta, t.th 
Wijayanto, Iip, Perkosaan Atas Nama Cinta, CV Dalam, Yogyakarta, 2002 
________, Jatuh Cinta dan Pacaran Islami, Tinta, Yogyakarta, 2003 
Makalah Disampaikan pada obrolan cinta dengan tema ”Pacaran Dalam Perspektif Islam antara idealitas  dan realitas”, yang diselenggarakan oleh Alumni MAPABA PMII 2002 dan KAMMI Komisariat  Walisongo, Senin 4 November 2002, Rigin Wok Ngaliyan Semarang.
Majalah Nikah Edisi 08 November 2002

0 comments:

Post a Comment