MAKALAH MASAIL FIQHIYAH LANJUTAN
III.ANALISA MASAIL FIQHIYAH
Hasil dari qaidah pertama tersebut bermunculan masalah-masalah fiqhiyah yang hampir tidak dapat dihitung jumlahnya. Beberapa kaidah yang dapat ditarik daripadanya ialah:
a. Laa tsawaba illa binniyat (Tidak adal pahala selain dengan niat)
Selama perbuatan-perbuatan itu tidak dianggap baik atau buruk jika tanpa niat dari pelakunya, maka amal itu tidak akan memperoleh pahala selama tidak diniatkan yang baik. Ketetapan semacam ini telah disepakati oleh seluruh ulama. Adapun mengenai sahnya amal, ada yang telah disepakati oleh ulama bahwa nita itu sebagai syaratnya, seperti shalat dan tayamum. Dan ada juga yang masih diperselisihkan, seperti niat di dalam wudhu. Ulama Syafi'iyah dan Malikiyah menganggap niat itu sebagai fadhu (wajib), ulama Hanabilah menganggap niat itu sebagai syart sahnya dan ulama Hanafiyah menetapkan sebagai sunat muakadah. artinya jika dengan iat, wudhunya merupakan ibadah yang dipahalai, jika tidak maka tidak dipahalai sekalipun shalatnya sah juga. kesukaran yang berlebihan yang dimaksudkan untuk menambah pahala, justru tidak akan dipahalai, tetapi yang dipahalai ialah kesukan yang lazim dalam melakukan amal itu.
b. Maa yashtarathu fiihi alta'yyiyni falkhotha'a fiyhi mubthal (Dalam amal yang disyaratkan menyatakan niat, maka kekeliruan pernyataanya membatalkan amalnya.)
Misalnya kekeliuran menyatakan niat:
- Dalam shalat dzuhur dengan shalat ashar.
- Dalam shalat idul fitri dengan idul adha.
- Dalam shalat rawatib dzuhur dengan rawatib ashar.
- dalam shalat dua rakaat ihram dengan dua rakaat thawaf dan sebaliknya.
- Dalam berpuasa arafah dengan puasa asyura dan sebagainya.
menjadikan tidak sahnya amal perbuatan yang dilakukan. disebabkan masing-masing dari perbuatan itu dituntut adanya pernyataan niat untuk membedakan ibadah yang satu dengan lainya.
c. Maa yashtarathuta'didhalahu jumlatan wa laa yashtarithu ta'yiyynahu tafshiylaan idza ayynahu wa akhtha'dzoru (Perbautan yang secara keseluruhan diharuskan niat tetapi secara terperinci tidak diharuskan menyatakan niatnya, maka bila dinyatakan niatnya dan ternyatak keliru, berbahaya),
Misalnya, seorang shalat jama'ah dengan niat makmum kepada Muhammad, ternyata orang yang menjadi imamnya bukan Muhammad tetapi Amin, shalat jamaah orang tersebut tidak sah, sebab keimamanya telah digugurkan oleh Amin, sedang niat kemakmumannya dengan Amin tanpa diniatkan. Menyatakan siapa imamnya dalam sembahyang berjamaah tidak disyaratkan, tetapi yang disyaratkan niatnya berjama'ah.
d. wa akhtho'al madzora maa laa yastarothutta'ridho lahu jumlatan wala tafsyiyylaan idza aynahu. (Perbautan yagn secara keseluruhan, maupun secara terperinci tidak disyaratkan mengemukakan niat, bisa dinyatakan dan ternyata keliru, tidak berbahaya).
MIsalnya seseorang bersembahyang dengan menyatakan pada niatnya sembahyang pada hari kamis, padalah hari yang ia sembahyang itu adalah hari jumat, maka sembahyang tidak batal sama sekali, sebab menyatakan hari tanggal ia sembahyang tidak disyariatkan.
e. maa qhoo shodan allafdzu alaa niyatil afadz. (maksud lafzh itu terbantung pada niat orang yang mengatakannya).
Midalnya, seorang suami memanggil istrinya yang bernama Thaliq (orang yang tertalaq) atau seorang tuan pemilik budak memanggik budak yang bernama Hurrah (orang yang bebas), maka j ika memanggilnya tersebut diniatkan untuk mentalak istrinya atau memerdekakan budaknya, maka tercapailah maksudnya. Tetapi jika hanya bermaksud untuk memangi belaka tidak membawa akibat yang demikian.
IV. KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa "segala urusan tergantung terhadap niatnya. Niat aygn terkandung dalam hati sanubari seseorang sewaktu melakukan amal perbuatan menjadi kriteria yang menentukan nilai dan status hukum amal yang dilakukanya. Apakah kebiasaan dan apakah status hukumnya, jika ia sebagai amal syariat, wajib atau sunat atau lain sebagainya ditentukan oleh niat pelakunya. itulah sebanya kaidah ini bisa diterapkan hampir pada seluruh masalah fiqhiyah.
0 comments:
Post a Comment