Random Post

Blog Stats

Powered by Blogger.

Translate

Join Us Here

Test Footer

Friday, 29 January 2016

MAKALAH FAKULTAS SYARI'AH FORMALISASI HUKUM ISLAM


I. PENDAHULUAN

Lazimnya hukum yang secara formal berlaku (positive law) juga merupakan hukum yang hidup, diterima dan digunakan secara nyata dalam masyarakat (living law). Namun dalam prakteknya tidak selalu demikian. Adakalanya hukum yang seharusnya berlaku ternyata tidak digunakan dalam masyarakat, sebaliknya hukum yang secara formal tidak berlaku dalam masyarakat, sebaliknya hukum yang secara formal tidak berlaku dalam kenyataan justru diterima dan digunakan dalam masyarakat. Contohnya, ketentuan tentang Perseoran Terbatas (PT), sebenarnya tidak berlaku bagi WNI pribumi yang mendirikan perseroan memilih bentuk P.T. ternayta hampir tidak penah dipilih oleh golongan tersebut ketika mereka hendak mendirikan perseroan yang berbadan hukum.

Dalam uraian dibawah ini, penulis mencoba menggambarkan sejauh manakah kaitan, saling mempengaruhi, dan kerancuan antar ketentuan yang bersifat formal legal- yang mengatur Peradilan Agama- dengan kesadaran hukum masyarakat yang melatarbelakanginya. Kajian yang didahului dengan kilas balik akan diproyeksikan ke depan untuk memperkirakan keberadaan dan kemampuan atau kekuatan peradilan agama pada masa datang.

II. PEMBAHASAN

Tinjauan Legal Formal Hukum Islam
Pada tahun 1596, ketika kapal dagang V.O.C mendarat di Indonesia awak Belanda menyaksikan kenyataan bahwa orang pribumi telah memiliki dan hukudp dalam hukumnya sendiri. V.O.C selalu bertindak berdasarkan perhitungan untung rugi ditinjau dari segi ekonomi. Jika mereka bermaksud memperlakukan hukum Belanda terhadap pribumi, mereka memerlukan biaya, sehingga akan mengurangi keuntungan mereka. Oleh karena itu, sejak semula, V.O.C membiarkan pribumi hidup dalam hukumnya sendiri, kecuali di Batavia diperlakukan asas unifikasi. Demikian juga Pengadilan Agama yang sering disebut Pengadilan Serambi, tetap berjalan seperti sedia kala. Bahkan di kota Batavia diberlakukan peraturan bahwa “mengenai soal kewarasan bagi orang Indonesia yang beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam”. Sehubungan dengan itu, disusunlah “Compendium Freiijer”, semacam kitab hukum yang dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul antar umat Islam di daerah-daerah yang dikuasai V.O.C.

Tahun 1830, setelah V.O.C bubar, roda pemerintahan dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pengadilan Agama ditempatkan dibawah pengawasan “Landraad”, dialah yang berkuasa memutuskan Pengadilan Agama, yang pengukuhan dan pengakuan Pengadilan Agama secara resmi ditetapkan lewat firman Raja Belanda yang diundangkan dalam Staatblad 1882 Nomor 152 yang berisi bentuk Pengadilan Agama disamping Pengadilan Negeri. Walaupun wewenang Pengadilan Agama terbatas pada bidang perkawinan dan waris, firman Raja ini melahirkan dua landasan, yaitu timbulnya spesialisasi dalam pelaksanaan tugas Pengadilan Agama dan terbentuknya Pengawasan Nasional.

Pasang surut Peradilan Agama ditandai lahirnya Staatblad 1931 Nomor 153 mulai berlaku 1937, dengan beberapa yang tercantum dalam Staatblad 1937 Nomor 116. Berlakunya Staatblad 1937 Nomor 16 maka Pengadilan Agama di Jawa dan Madura tidak lagi berwenang menyelesaikan hukum harta benda dan masalah waris/wakaf harus diserahkan kepada Pengadilan Negeri.
 
Setelah Indonesia merdeka, dibentuk Departemen Agama, dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1946, maka administrasi Nikah, Talak dan Rujuk (NTR) di seluruh Indonesia berada dibawah Departemen Agama. Baru pada tahun 1954 Departemen Agama memperoleh persetujuan DPR memberlakukan UU No 22 Tahun 1946 di seluruh Indonesia sementara itu, masih ada pihak-pihak tertentu yang berupaya menghapuskan Pengadilan Agama antara lain melalui UU Nomor 19 tahun 1948 dan UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Susunan Peradilan Sipil.
Tahun 1957 diberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957 merupakan landasan hukum bagi pembentukan pengadilan agama di seluruh Indonesia, dan merupakan tonggak yang menandai kembali pasangnya Peradilan Agama. Perkembangan itu terus meningkat dengan diundangkannya UU Nomor 14 tahun 1970, tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang memberikan landasan yang kukuh bagi kemandirian Pengadilan Agama dan kesetaan dengan Pengadilan lainnya. UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan semakin memperteguh pelaksanaannya. Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan peradilan agama dengan diundangkannya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sementara itu kepastian dan kesatuan pelaksanaan Hukum Islam di lingkungan peradilan agama diharapakan akan lebih terjamin dengan berlakunya Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam

Sebagai perjuangan dalam perundang-undangan Indonesia , karena pengaruh teori receptie exit, teori reception a contrario dan karena ajaran Islam sendiri, berkembanglah kenyataan bahwa hukum tertulis Indonesia banyak dipengaruhi dan mengambil ajaran hukum Islam, maka hukum Islam berada (exist) di dalam hukum nasional Indonesia. Dengan terbitnya undang-undang Perkawinan (UU No.1/1974) kedudukan dan peran hukum Islam khususnya dan hukum agama pada umumnya di dalam hukum nasional Indonesia. makin jelas tampak. Dalam undang-undang ini , hukum agama (hukum Islam) ada mandiri dan diberi kekuatan sebagai hukum nasional. Dengan kegiatan pembangunan dan pengamalan Pancasila, maka hukum agama pengamalannya, dan penataan terhadapnya dalam kehidupan pribadi dan kemasyarakatan akan terus berkembang selaras dan selaju dengan lancarnya pembangunan.
 
Hukum Nasional Indonesia tidak mungkin meninggalkan hukum Islam karena Pancasila, UUD, P4, GBHN dan nilai-nilai nasional Indonesia tidak dapat lepas dari agama dan hukum agama. Hukum Islam ada di dalam hukum nasional sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai peraturan perundang-undangan (UU No. 22/1946 jelas UU No. 32/1952, No. 1/1974, PP No. 9/1975. Peraturan Menteri Agama No. 3/1975, No. 4/ 1975, Keputusan Menhankam/Pangab No. Kep /01/1/80. UU No. 5/1960 Jls PP No. 28/1977, Peraturan Menteri Agama No. 1/1978 , Keputusan Menteri Dalam Negeri No.69/1977, UU Darurat No. 1/1951, Jls No. 9/1978, UU No. 6/1974, UU No. 8/1981 Jo 217/1983). Wujud Hukum Agama Islam dalam hukum nasional sesuai dengan Undang-undang yang ada, dapat sebagai hukum agama yang berdiri sendiri. (UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1) sebagai hukum nasional (pasal 39 PP No. 9/ 1975, PP No. 28/1977), sebagai dasar pertimbangan dari norma hukum yang diberi autoritas menjadi hukum nasional ( Pasal 5 UU No. 5/1960) norma agama juga mengikat petugas negara dalam menunaikan tugasnya (UU No. 15/ 1961, UU No. 13/1961.
 
Kenyataan dalam hukum nasional dan cita-cita hukum nasional berdasarkan pancasila dengan masyarakat Islam sebagai mayoritas mendorong kepada ditemukannya teori hubungan antara hukum Islam dan hukum nasional dan harus dikajinya hukum Islam yang hidup di Indonesia sebagai bagian dari hukum positif Indonesia untuk kemanfaatan hukum nasional pada masa mendatang.
 
Dalam kerangka pikir ini yang telah terjadi pada peraturan perundang-undangan nasional dan dengan melihat pada kenyataan dan hukum dalam masyarakat, terutama mengenai pengamalan dan pelaksanaan hukum Islam (puasa, zakat, haji, umroh, infaq, shodaqoh, hibah. Baitul mall, hari raya besar Islam, doa pada hari raya besar Islam, doa pada hari raya nasional dan sebagainya). Yang dapat disimpulkan adalah bahwa hukum Islam adalah hukum yang hidup di dalam kehidupan bangsa Indonesia. Terlihat bahwa hukum Islam telah ditaati oleh orang Islam Indonesia walaupun belum ada perintah peraturan perundang-undangan (zakat, shalat, haji, dan lain-lain). Tetapi terlihat pula bahwa sementara bidan hukum untuk pengamalan Islam sangat memerlukan peraturan perundang-undangan (perkawinan, perwakafan, peradilan agama, pewarisan dan lain-lain.

Adanya dan bawaan hukum Islam dalam hukum Islam nasional Indonesia terlihat dalam hukum yang tidak tertulis dalam praktek-praktek kenegaraan, praktek sosial, praktek hukum dan praktek-praktek kultural.
Dalam peraturan perundang-undangan terlihat:
a. Undang- undang Pokok Agraria (UU No. 5/1960) Jo PP No. 28/1977.
Hukum Islam merupakan sumber bahan hukum agraria nasional juga merupakan hukum dasar sebagai pertimbangan hukum untuk menerima kaidah-kaidah hukum adat menjadi hukum nasional. Dalam PS. S UU No. 5 UU No. 5/60 menyatakan: Hukum Agraria Nasional Indonesia adalah hukum agraria adat selama tidak bertentangan dengan hukum agama, kesusilaan dan lain-lain. Dalam hal ini bahwa hukum agama yang menjadi ukuran utama dan filter bagi kaidah-kaidah hukum adat yang akan menjadi UU agraria Nasional selam kaidah hukum adat itu tidak bertentangan dengan hukum agama, kesusilaan adalah hukum Islam. Dalam hukum Agraria terlihat bahwa hukum Islam adalah bahan utama, terutama dalam kaitannya dengan lembaga-lembaga pemilikan dan perwakafan.
 
b. Undang-undang Perkawinan
  1. Kedudukan hukum Islam dalam hukum perkawinan sangat penting dan sangat kuat.
  2. Hukum Islam merupakan bahan utama hukum perkawinan nasional, karena tanpa memahami hukum Islam orang tidak tidak mungkin memahami hukum perkawinan Indonesia.
  3. Falsafah hukum perkawinan dalam UU Perkawinan memakai dan menerapkan falsafah hukum Islam. Oleh karena itu, harus memahami norma-norma hukum perkawinan dalam hukum Islam, dan agama yang bersangkutan.
  4. Dari sejarah penyusunannya, UU Perkawinan sangat dihormati dan menunjukkan sebagai norma hukum yang tidak akan dihapus atau diubah.
Penataan hukum Islam dan praktek hukum menggambarkan adanya berwibawanya hukum Islam. Pengaturan dan praktek ketatanegaraan di Indonesia menggambarkan adanya acara pembacaan doa pada setiap acara kenegaraan, sumpah jabatan, salam oleh para pejabat negara, peringatan hari besar Islam yang dilaksanakan di istana negara dan kantor-kantor pemerintahan. Yaitu dalam rangka mengamalkan rasa keagamaan (Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi, Nuzulul Qur’an dan Tilawatul Qur’an).

Dari gambaran tersebut terlihat bahwa hukum Islam ada di dalam hukum nasional.

Majallahul Ahkam al-adliyah (Majalah Hukum-hukum Peradilan)

Perundang-undangan lain selain yang dijelaskan di atas ada juga pada peraturan perundang-undangan kerajaan Utsmani. Pada masa kekosongan penghimpun perundang-undangan Utsmani, Daulah Utsmaniyah memandang perlu mengkodifikasikan undang-undang madani dari fiqh madzhab Abu Hanifah, sebagai madzhab resmi negara.
Pada tahun 1869 dibentuk Panitia Himpunan (Jami’iyah) Majalah yang anggotanya 7 orang ulama diketahui oleh Judat Pasha, pengawas Dewan Ahkam Adliyah. Tujuannya adalah penyusunan kitab tentang muamalat fiqhiyah, mudah pengambilannya, tidak ada ikhtilaf, menghimpun pendapat yang baik dan mudah mempelajarinya bagi setiap orang.
Jam’iyyatul Majallah kerjanya tujuh tahun sejak tahun 1869 sampai 1876. Majallah Ahkam al Adliyyah mengandung 1851 pasal yang terbagi kepada; Mukadimah dan 16 kitab. Mukadimah terdiri dari 100 pasal yang terdalam tentang definisi fiqh dan yang lainnya tentang prinsip-prinsip umum yang disebut al-Qawaid al-Kulliyah, yang sebagian besar diambil dari al-Asybah wan Nadhaa’ir oleh Ibnu Nujaim dan kitab al-Majaami karangan Abu Said al Khaadimi.

Adapun kitab yang enam dibahas di dalamnya tentang uquud khassah seperti: al bai’ ijarah, kafalah, rahn, amanah-hibah, syirkah, wakaalah, shulh, ibra’, hawalah, syuf’ah. Yang lainnya mengenai pembuktian, hukum acara gugatan peradilan, pengakuan, bukti dan sumpah. Secara umum Majallah diambil dari kitab-kitab Dhahirur Riwayah pada madzhab Hanafi. Demikian pula dari pendapat-pendapat lain yang dapat memenuhi kebutuhan masa itu. Dalam majallah, tidak dibahas fiqh ibadah dan juga tidak dimasukkan al-Akhwal asy-Syakhsyiyyah, seperti perkawinan dan lain-lain. Demikian pula tidak dimasukkan tentang waris, wasiat, uang yang hilang dan wakaf. Sampai tahun 1917 al-Akhwal asy-Syakhsyiyyah belum dikodifikasikan

III. KESIMPULAN
  • Agama Islam dan hukum Islam sendiri, dengan melihat pada Al Qur’an (terutama) dan prakteknya oleh sunnah Rasul yang terceritakan dalam hadits. Menggambarkan dan mengajarkan bahwa orang Islam secara pribadi dituntut untuk menaati dan menjalankan hukum Islam.
  • Dalam hubungan Islam dengan kehidupan manusia dalam masyarakat terdapat dalam kenyataan-kenyataan hukum:
  1. Orang Islam, kalau telah menerima Islam sebagaimana agamanya menerima autoritas hukum Islam terhadap dirinya.
  2. Dalam pembentukan hukum baru Indonesia, hukum Islam ditaati oleh orang Islam. Karena ajaran Islam dan kesadaran batin dan kesadaran hukum orang Islam sendiri. Hukum Islam menjadi faktor utama dalam pembentukan hukum baru Indonesia yang berupa hukum nasional Indonesia
IV. PENUTUP

Demikian makalah ini penulis susun apabila ada kesalahan dan kekurangan dari penulisan pada makalah ini, penulis mohon maaf. Semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Amrullah, SF, dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, 1996, Jakarta, Gema Insani Press.
Praja, Juhaya S., Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan, 1994, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Djatnika, Rachmat Prof. Dr. H., Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, 1986, Jakarta, Departemen Agama RI.

0 comments:

Post a Comment